Senin, 03 Maret 2008

Tabuik Piaman


SEKILAS TABUIK PIAMAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki beraneka ragam budaya yang merupakan kekayaan bangsa. Keanekaragaman budaya ini perlu dilestarikan dan dikembangkan secara terus menerus guna meningkatkan ketahanan budaya dan yang lebih penting adalah sebagai penunjang pariwisata. Ragam budaya itu adalah pencerminan sikap dan pola hidup masyarakat yang sudah menjadi tradisi turun-temurun. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi warisan yang sangat berharga bagi masyarakat pendukungnya.
Seperti halnya Upacara Tabuik, mewakili pencerminan sikap dan pola hidup masyarakat Pariaman. Nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara tersebut menjadi panutan bagi masyarakat Menurut masyarakat setempat, upacara ini pada awalnya dilakukan oleh masyarakat daerah Pantai Barat Sumatera, yaitu Bengkulu, Maulaboh, Barus, Natal dan Pariaman. Akan tetapi pada masa sekarang pelaksanaan tradisi itu tetap dilaksanakan dan digemari hanya di Pariaman dan Bengkulu, sementara daerah-daerah lainya tidak dilaksanakan lagi.
Upacara Tabuik di daerah Pariaman dan Bengkulu meskipun bermakna sama namun dalam bentuk dan jumlah berbeda. Tabuik yang berkembang di Pariaman berasal dari kebiasaan bangsa Cipei yang menetap di sana. Demikian juga upacara Tabuik di Bengkulu. Perbedaan upacara ini terdapat pada penyebutan “nama” upacara tersebut. Di daerah Pariaman disebut Tabuik sedangkan di daerah Bengkulu disebut Tahul. Selain itu proses terakhir dari upacara tabuik yaitu membuang tabuik, di kedua tempat inipun berbeda. Di daerah Pariaman pembuangan tabuik dilakukan di laut. Ini menandakan bahwa, upacara tabuik di Pariaman disamping berfungsi sebagai sarana komunikasi dengan pencipta dengan kata lain mewujudkan keseimbangan hubungan antara manusia dan pencipta, juga adanya keyakinan akan kekuatan supranatural yaitu kekuatan makhluk gaib dan alam. Sedangkan di daerah Bengkulu, tempat pembuangan tabuik di lapangan atau padang yang menunjukan simbol peperangan antara pasukan Islam di bawah pimpinan Housain Ali Bin Abi Thalib dan Raja Yazid Bin Muawiyah di Padang Karbala.
Kata Upacara” mengandung pengertian suatu kegiatan pesta tradisional yang diatur menurut tata adat atau hukum-hukum dalam masyarakat dan dalam rangka memperingati peristiwa-peristiwa penting dengan ketentuan yang bersangkutan (Suyono,1985 : 423). Selanjutnya khusus mengenai upacara keagamaan, Suyono mengatakan, bahwa upacara keagamaan adalah upacara suci yang dianggap keramat yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan dari rangkaian peristiwa dalam sistem agama berdasarkan keyakinan pada setiap ajaran yang ada di dalamnya (Suyono, 1985 : 424)
Dari definisi tersebut ada kaitannya dengan konsep Rudolf Otto tentang azaz upacara yang berorientasi pada sikap manusia dalam menghadapi tentang yang gaib (mysterium), maha dahsyat (tremidum) dan keramat (sacer) oleh manusia (dalam Koentjaraningrat 1982 : 65). Dengan demikian silat yang gaib dan keramat dalam upacara Tabuik di Pariaman merupakan suatu yang abadi, maha dahsat, maha baik, maha bijaksana, tidak terbatas dan sebagainya. Untuk mencapai yang serba maha itu diperlukan pawang sebagai perantaranya.
Sampai saat ini upacara Tabuik oleh masyarakat Pariaman masih diangap sebagai upacara suci yang timbul dari sikap kagum pada Imam Housein. Upacara Tabuik dilaksanakan dalam rangka memperingati syahidnya Housein bin Abi Thalib di Padang Karbela yang ditandai dengan usungan keranda Tabuik sebagai simbol jasad Housein.
Upacara Tabuik merupakan atraksi yang sangat digemari oleh masyarakat Pariaman, di samping kesenian tradisional lainnya seperti dikir, indang, gendang, tambur dan sebagainya. Upacara Tabuik yang biasa dilakukan oleh masyarakat Pariaman setiap tahunnya merupakan upacara ritual keagamaa merupakan personifikasi dan kisah perang Karbela (yaitu terjadi antara Housein Bin Abi Thalib dengan Raja Yazid Syam) yang terjadi pada bulan Muharam tahun 61 H di Tanah Arab Rangkaian peristiwa itulah sampai saat ini menjadi tradisi bagi masyarakat.

1.2. Masalah

Di zaman modernisasi saat ini masih ada masyarakat suatu peristiwa dan kepercayaan dan kekuatan gaib. Kekaguman dan kepercayaan ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan seolah-olah mereka tidak bisa melepaskan diri dari keyakinan Setiap gerak perbuatan dan tingkah laku selalu terikat pada kekuatan tersebut.
Hal ini ditemui pada masyarakat Pariaman, dimana tahunnya mengadakan upacara Tabuik guna memperingati syahidnya Imam Housein sekaligus memberi persembahan pada penghuni Pantai Barat Sumatera. Upacara Tabuik merupakan sarana komunikasi antara masyarakat Pariaman dengan jasad Imam Housein dan penghuni pantai. Penghuni Pantai harus dipuja dan diberi persembahan agar negeri yang kekuasaannya terhindar dari berbagai bencana. Seharusnya hal semacam ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat yang sudah modern, namun kenapa sampai saat ini masyarakat Pariaman masih melaksanakan Upacara Tabuik. Padahal penyelenggaraan upacara tabuik memakan biaya yang relatif cukup besar sedangkan perekonomian sedang mengalami krisis. Di samping itu, masyarakat Pariaman sudah dapat menikmati kehidupan yang kehidupan yang layak berkat kemajuan teknologi yang canggih.

1.3. Ruang Lingkup

Seperti telah dijelaskan pada latar belakang bahwa upacara tradisional pada masa sekarang masih tetap dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya. Dalam hal ini “Tabuik” merupakan salah satu upacara tradisional yang masih tetap eksis dilakukan. Hal ini mengingatkan terkandung di dalamnya sangat bermanfaat bagi masyarakat karena upacara Tabuik mempunyai kaitan yang erat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Di samping itu untuk menghadapi era globalisasi, dimana pengaruh-pengaruh yang datang dari luar cepat sekali terserap dan masuk sehingga membawa dampak pada pola tingkah laku masyarakat. Maka sarana yang ada seperti upacara tradisional hendaknya tetap dilestarikan supaya nilai-nilai yang terdapat di dalamnya tidak hilang begitu saja.
Ruang lingkup penelitian adalah mengkaji nilai-nilai luhur yang tertuang dalam makna simbolik upacara Tabuik dan fungsinya bagi masyarakat pendukungnya. Untuk memperoleh pembahasan yang. terarah dan mendalam pengumpulan data dipusatkan atau dibatasi pada hal tersebut. Sedangkan ruang lingkup operasional adalah daerah Pariaman. Di samping itu karena upacara Tabuik hanya terdapat di Pariaman. Di samping itu upacara ini tetap eksis dilakukan setiap tahun dan di dukung penuh oleh tokoh masyarakat, swasta dan pemerintah.

1.4. Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk penyediaan bahan pembinaa kebudayaan nasional dalam rangka meningkatkan ketahanan nasional serta meningkatkan kualitas manusia lewat upacara tradisional
Tujuan khusus penelitian ini adalah pertama untuk mengetahui struktur masyarakat pendukungnya pada pelaksanaan upacara Tabuik. Kedua untuk mengungkapkan makna dari rangkaian kegiatan upacara Tabuik dan kaitannya dengan kehidupan masyarakat pendukungnya. Ketiga untuk menyebarluaskan dan melestarikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam upacara Tabuik, sekaligus sebagai norma sosial budaya yang dipatuhi oleh masyarakat

1.5. kerangka Teori

Teori yang menjadi kerangka acuan dalam mendiskripsikan Upacara Tabuik di Pariaman : Kajian. Nilai Budaya Dan Fungsi Bagi Masyarakat Pendukungnya adalah teori struktur dari Rediclife Brown. Menurut Rediclife, berbagai aspek perilaku sosial seperti melakukan upacara tradisional justru timbul untuk mempertahankan struktur masyarakat karena struktur sosial merupakan total dan jaringan hubungan antara individu dengan individu dalam masyarakat (TOR, 1992 : 4. lihat juga, Suhamihardja, 1994 : 6)
Teori tambahan sebagai penunjang dalam mendeskripsikan upacara tradisional ini adalah teori fungsional dari B. Malinoswki. Ia menyebutkan bahwa berpuluh-puluh pranata yang dihadapi oleh seseorang dalam kehidupannya pada masyarakat nyata, sebaliknya ditanggapi dengan menggunakan kerangka pranata yang berdasarkan prinsip intergritas bagi masyarakat (Suwamihardja 1994 : 6).
Upacara tradisional tabuik yang menjadi budaya daerah Pariaman merupakan wujud aktifitas masyarakat untuk mempertahankan keutuhan sebagai suatu kesatuan dan berkaitan. dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat pendukungny. Tradisi itu menjadi kebanggaan masyarakat Pariaman dan masih bertahan sampai saat ini.
Upacara ini sudah merupakan tradisi atau kebudayaan yang melekat erat pada masyarakat pendukungnya : Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Koentjaraninggrat kebudayaan adalah sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenal hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi perilaku manusia (Koentjaraninggraf, 1974 : 32; lihat juga Yunus, 1995 : 6)
Dengan demikian juga dengan Spradley mengatakan bahwa melalui kebudayaan manusia dapat mengembangkan adaptasi yang efektif terhadap lingkungan karena kebudayaan yang berisikan sistem pengetahuan berpola sebagai model-model kognitif berfungsi menjembatani manusia dengan lingkungannya (Yunus, 1995 : 7).
Dengan demikian di dalam mendiskripsikan upacara tradisional tabuik ini, selain dapat dipertahankan keutuhan sebagai satu kesatuan juga dapat dilihat kaitannya dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat pendukungnya.
Sistem religi tidak saja mempunyai wujud berupa sistem keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus, neraka, surga dan sebagainya tetapi juga mempunyai wujud upacara-upacara baik yang dilakukan bersifat musiman maupun kadangkala. Sehubungan dengan hal tersebut sistem religi dapat dijadikan suatu produk pariwisata untuk dipasarkan pada wisatawan (seperti upacara keagamaan) tanpa mengurangi kemurnian upacara tersebut.
Sistern religi dalam suatu kebudayaan mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya, Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain yaitu sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan dan suatu umat yang menganut religi itu (Koentjaraningrat,1990 : 3)

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kwalitatif. Menurut Bogdan dan Taylor, metodologi kualitatif merupakan prosedur peneiltian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan orang-orang dari perilaku yang dapat diamati ( Moleong, 1988 : 3).
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan studi pustaka. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data langsung dari nara sumber, sekaligus pendapat dan pandangan nara sumber mengenal upacara Tabuik dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat pendukungnya. Wawancara dilakukan kepada tokoh masyarakat (seperti ninik mamak, alim ilama, ) dan yang lainnya. Wawancara dilakukan secara terpimpin dengan menggunakan pedoman wawancara. Sedangkan observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung pelaksanaan dari upacara Tabuik. Study pustaka dilakukan untuk mendapatkan literatur-literatur yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara tradisional yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian.
BAB II
PARIAMAN SELAYANG PANDANG

2.1. Keadaan Alam dan Lingkungan Fisik

Kota Pariaman dahulunya merupakan Ibukota Kabupaten Pariaman. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 33 tahun 1986 dibentuk administratit yang diperkuat dengan Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkal I Sumatera Barat nomor 7 tahun 1987 tanggal 1987, yang mengatur tentang pembentukan susunan organisasi dan Pemerintahan wilayah Kota Administratif, menjelaskan kedudukan administratif Pariaman sebagai Perangkat Tingkat pusat yang berada dan bertanggung jawab kepada Bupati Kepala Daerah Tk. II Padang dengan menyelenggarakan kegiatan pemerintahan, pembagian dan kehidupan masyarakat serta administrasi, organisasi dan pembinaan masyarakat kota.
Letak wilayahnya berada di Selatan garis khatulistiwa antara 00 35’41” - 00 42’17” Lintang Selatan dan 1000 5’52” - 1000 10’12” Bujur Timur ketinggian ± 2 meter di atas permukaan laut (BPS, 1998). Kota administrasi Pariaman terletak di bagian utara Kotamadya Padang yang berbatasan dengan :
§ Sebelah Utara dengan kecamatan V Koto Kampung Dala
§ Sebelah Timur dengan Kecamatan VII Koto Sungai Sarik
§ Sebelah Selatan dengan Kecamatan Nan Sabaris Pauh kamba
§ Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia

Jarak kota Pariaman dan Ibukota Propinsi ± 62 km dengan luas daerah 72,22 km persegi, beriklim panas, suhu udara rata-rata 29°C -31° C. Curah hujan berkisar 5.036 mm pertahun. Kota Administratif Pariaman terdiri dari 3 Kecamatan yaitu :
§ Kecamatan Pariaman Utara dengan Ibu kota Naras
§ Kecamatan Pariaman Selatan dengan Ibu Kota Kuraitaji
§ Kecamatan Pariaman Tengah dengan Ibu kota Pariaman.

Dan ketiga kecamatan tersebut kecamatan Pariaman Tengah yang paling banyak jumlah penduduknya yaitu 30.079 jiwa. Dengan luas daerah 2377, dengan keadaan geografis 0°38’ 00” Lintang Selatan dan 100007’00” Bujur Timur (Padang Pariaman Dalam Angka, 1998). Kecamatan Pariaman Tengah merupakan pusat pemerintahan dan sentral kegiatan ekonomi. Di sana terdapat sebuah pasar serikat yang dikelola oleh 4 Nagari dalam kecamatan Pariaman Tengah, yaitu Pasar, V Koto Air Pampan, IV Koto Sungai Rotan dan IV Koto Sungai Rotan Angkat Padusunan.
Pasar serikat sebagai pusat perbelanjaan masyarakat setempat telah ditata dengan baik. Toko-toko bertingkat berdiri dengan megah, semua kebutuhan bisa diperoleh di sana mulai dari kebutuhan sandang, pangan bahkan sampai pada barang-barang mewah/lux seperti TV, kulkas dan sebagainya. Selain itu juga terdapat biro jasa yang dapat dimanfaatkan oleh orang banyak seperti tersedianya wartel. Dewasa ini ketersediaan sarana komunikasi seperti wartel sangat dibutuhkan oleh masyarakat baik masyarakat kelas rendah (masyarakat awam) maupun kelas tinggi (kaum elit/pejabat). Ketersediaan sarana tersebut memudahkan orang untuk berkomunikasi dengan keluarga yang jauh. Apapun masalah yang sedang terjadi dengan secepatnya bisa diberitahu pada keluarga yang jauh.
Pusat penbelanjaan kota Pariaman letaknya sangat strategis dekat dengan terminal bus antar kota dan dekat dengan obyek wisata Pantai Gondariah, sehingga memudahkan orang untuk berkunjung ke sana. Di tepi Pantai Gondariah terdapat stasiun kereta api. Kereta api merupakan sarana transportasi yang banyak digemari orang.
Jika ingin pergi ke obyek wisata Pantai Gondariah Pariaman bisa menggunakan dua angkutan yaitu angkutan darat (dengan bus) dan angkutan kereta api. Kalau menggunakan angkutan kereta api langsung berhenti di tepi pantai, tetapi jika menggunakan bus maka dan terminal bisa menggunakan bendi (dokar) untuk sampai ke tepi pantai. Naik bendi (dokar) sangat mengasyikkan di kiri kanan jalan terdapat toko-toko yang menjual bermacam-macam kebutuhan. Letak terminal dengan pantai tidak begitu jauh dan bisa ditempuh dalam waktu ± 10 menit dengan bendi (dokar). Yang Iebih menariik lagi di tepi pantai tersedia bermacam-macam cemilan (jajanan) dan tak ketinggalan makanan khas daerah setempat seperti Sala luak yaitu sejenis makanan yang terbuat dari tepung beras diberi bumbu (garam, bawang merah, bawang putih, kunyit) dan sedikit ikan (biasanya ikan asin) lalu dibulat-bulatkan seperti bola dan digoreng. Selain itu juga tersedia nasi dan lauk pauk khas daerah setempat. Suasana di tepi pantai sangat menyenangkan apalagi sambil menikmati santapan yang dijual di warung-warung sepanjang pantai. Di tepi pantai tersedia tempat makan tradisional yaitu makan dengan cara duduk berhamparan di atas tikar dengan nasi bungkus daun pisang. Keadaan serupa itu merupakan aroma baru bagi wisatawan yang sudah terbiasa dengan kemewahan.
Pantai Gondariah sebagai tempat berlangsungnya upacara pembuangan tabuik selalu ramai dikunjungi orang Para pengunjung dari Padang lebih cenderung naik kereta api sekalipun ongkosnya relatif lebih mahal daripada naik bus. Saat penelitian ini dilakukan ongkos kereta api Rp 3.000,- sedangkan ongkos dengan bus hanya Rp.1.500,-. Daerah Pariaman Tengah terletak di pinggir pantai yang panjangnya ± 12 km dengan ketinggian ± 2 m dan permukaan laut.

2.2. Keadaan Sosial Budaya

Daerah Sumatera Barat terletak di kawasan bagian Barat pulau Sumatera yang dilalui oleh bukit barisan yang memanjang dan Utara - Selatan. Sebagian besar daerah Sumatera Barat merupakan daerah Minangkabau yang memiliki kesatuan kebudayaan (MD. Mansur, et. at, 1970 : p. 1-4).
Menurut Tambo, masyarakat yang mendiami daerah Minangkabau berasal dan lereng gunung merapi, yaitu Pariangan Padang Panjang, Tanah Datar, menurun ke Agam dan Lima Puluh Kota. ini dikenal dengan Luhak Nan Tigo dan merupakan daerah asli/inti pusat Kebudayaan Minangkabau (Bahar Dt. Nagari Basa, 1966 : 9 dan Muchtar Naim, 1984 : 61). Kemudian Luhak Nan Tigo memiliki perluasan daerah yang dikenal juga dengan istilah rantau. Rantaunya adalah Pasaman, Solok, dan Sawah Lunto Sijunjung. Akhimya berkembang ke wilayah pesisir, yaitu meliputi Tiku, Pariaman Padang, dan Indrapura.
Masyarakat yang mendiami Pariaman berasal dari Luhak Nan Tigo, tepatnya dari Luhak Tanah Datar, yaitu Pariangan Padang Panjang, turun ke Koto Tuo, selanjutnya ke Matur, Batipuh terus ke Padang Panjang, Malalak, akhirnya sampai ke Pariaman. Para pendatang pada awalnya menempati tanah yang subur yang cocok untuk lahan pertanian. Pada perkembangan selanjutnya sebagian masyarakat juga turun ke laut sebagai nelayan (M. Nur, 1993 7-8) terlihat di Pasir, Karan Aur dan sekitarnya.
Masyarakat Pariaman hidup bersuku-suku seperti halnya dengan daerah lain di Minangkabau, yaitu kelompok berdasarkan garis ibu (matrilinial). Tiap-tiap suku mempunyai penghulu yang disebut juga dengan penghulu suku (M. Radjab, 1964 : 23-25). Secara tradisional dalam masyarakat Pariaman terdapat dua lapisan sosial, yang terdiri dari penghulu (Kepala adat) dan orang kebanyakan atau masyarakat biasa. Perbedaan antara ke dua lapisan sosial ini tidak begitu terlihat. Dalam kehidupan sehari-hari seorang pemimpin (penghulu) itu didahulukan selangkah, ditinggikan seranting artinya dalam kehidupan sehari-hari kehadiran penghulu itu betul-betul dihormati oleh kaumnya, apapun yang akan dilakukan harus sepengetahuan penghulu. Penghulu berfungsi sebagai pimpinan tradisional yang mempunyai hubungan geneologis dengan orang yang dipimpinnya.
Masuknya pengaruh asing seperti masuknya agama Islam dan pendidikan Barat, memunculkan ulama sebagai pimpinan dalam pemerintah nagari. Sedangkan lulusan sekolah pendidikan barat menghasilkan cerdik pandai (Depdikbud, 1983/1984 28-29). Kemudian dalam masyarakat Minangkabau/Sumatera Barat terdapat tiga unsur kekuatan sosial yaitu: penghulu, ulama, dan cerdik pandai yang dikenal dengan “tungku tigo sajarangan”. Hal yang sama juga terdapat dalam segi hukum yang mengikat masyarakat yaitu: adat, agama dan aturan (undang-undang) yang dikenal dengan “tali tigo sapilin” ( Hamka, Muchtar Naim 1968 : 26).
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sumatera Barat memiliki falsafah dan pandangan hidup yang dinamakan dengan adat. Adat yang berlaku di Minangkabau sangat terkenal sesuai dengan sifat dasar adat tersebut yaitu adat babuhue sintak syarak babuhue mati. Buhue artinya simpul atau ikatan, sintak atau sentak artinya mudah dilonggarkan atau dikencangkan. Dengan demikian ikatan adat merupakan ikatan yang dapat dibuka untuk menerima perkembangan baru yang sesuai dengan pertimbangan alue dan patuik menurut logika orang Minangkabau dan sebaliknya. Di Minangkabau adat dibagi dalam 4 klasifikasi yaitu Pertama adat nan sabana adat, kedua adat yang diadatkan, ketiga adat yang teradat dan keempat adat istiadat. Berkenaan dengan klasifikasi adat tersebut maka permainan /pesta rakyat termasuk adat istiadat, di mana permainan rakyat itu mengalami pasang surut sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pendukung. Demikian halnya penyelenggaraan upacara tabuik sebagai pasta rakyat juga pernah mengalami pasang surut.
Adat merupakan pola ideal dan prilaku masyarakat Minangkabau yang terdiri dari unsur yang telah diserap ke dalam satu sistem kebersamaan (Taufik Abdullah, 1987 :104). Hal ini terlihat dalam kehidupan bermasyarakat seperti dalam pelaksanaan perkawinan selalu berdasarkan kepada yang kawi menurut adat, yang lazim menurut syarak (agama).
Penyebaran agama Islam di Minangkabau bermula dari daerah pesisir barat Sumatera (Garus, Natal, Tiku, Pariaman ) baru menyebar ke daerah lainnya. Sejalan dengan perkembangan agama Islam tersebut maka dalarn kehidupan sosial masyarakat Pariaman dikenal dengan adanya pemakaian gelar bangsawan/keturunan. Adapun gelar yang ada di Pariaman adalah Sidi, Bagindo, Sutan dan Marah. Anak laki-laki di Pariaman sebelum menikah terlebih dahulu diberi gelar. Pemakaian gelar keturunan pada anak laki-laki merupakan warisan dari gelar ayahnya (A.A. Navis, 1984: 200-220).
Dari segi pemakaian gelar tidak ada perbedaan. Semuanya dianggap sederajat Keempat gelar kehormatan itu berkembang atau dipakai setelah masuknya Islam ke Pariaman, sehingga keempat gelar tersebut sangat bernuansa keagamaan Islam sebagai agama mayonitas.
Gelar Sidi berasal dari bangsa Arab bernama Syekh Magribi yang menetap dan kawin di Nagari Gasan Godang. Setelah lahir anak laki-laki diberi gelar Said yang dilafalkan menurut lidah masyarakat Pariaman Sidi. Gelar Bagindo berasal dari keturunan raja dan bangsawan kerajaan Pagaruyung yang menetap di nagari Gaduh Koto Tinggi. Golongan Bagindo tidak berasal dari keturunan nabi, tetapi dari raja yang terkenal dengan kekayaannya. Usaha yang digeluti golongan Bagindo adalah sektor perdagangan. Menurut A.A. Navis Gelar Sutan berasal dari Luhak Nan Tigo. Dalam Tambo Minangkabau Luhak Nan Tigo terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto. Gelar Sutan juga berasal dari utusan Pagaruyung yang menetap dan kawin di nagari Batu Mangaum. Sedangkan gelar Marah menurut A.A Navis berasal dari bahasa Aceh yaitu “maurah” yang artinya raja kecil, tetapi di Pariaman seorang golongan Marah merupakan kelas bawah, karena golongan ini dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan sebagai pekerja yang mematuhi peraturan atasan (Wawancara : Hasan Basri, 26 Juni 2000).
Dalam pelaksanaan upacara tabuik terdapat perbedaan pada keempat gelar tersebut. Yang bergelar Sidi dan Bagindo adalah golongan yang mendanai pelaksanaan upacara tabuik artinya mereka banyak memberikan sumbangan dana buat kelancaran kegiatan tersebut. Sedangkan golongan Sutan adalah orang yang mempunyai kepentingan pada adat dari permainan anak nagari. Dengan kata lain peranan anak nagari adalah konsep masyarakat Minangkabau untuk menyebut berbagai macam bentuk seni pertunjukan tradisional seperti dendang (sari musik vokal), saluang dendang, pancak (pencak, seni tari), randai (teater rakyat), kaba (seni sastra dan musik) dan tabuik (Yunus, 1990 : 21 dalam Khanizar Chands, 1995 : 38). Oleh sebab itu baik buruknya suatu peranan anak nagari ditentukan oleh golongan Sutan. Di samping itu golongan Sutan juga berfungsi sebagai penjaga keamanan selama berlangsungnya upacara dan golongan Marah adalah sebagai pekerja pembuatan tabuk.
Gelar begitu berharga bagi masyarakat Pariaman, bagi seorang laki-lak sebelum menikah diberi gelar. Dalam rumah tangganya nanti gelar itulah yang dipanggil oleh keluarga istrinya sebagai panggilan sehari-hari. Selain pemakaian gelar keturunan, masyarakat Pariaman merupakan salah satu daerah Minangkabau yang mempunyai keunikan tersendiri dalam hal perkawinan. Di sini di kenal dengan istilah uang jemputan berupa uang tunai atau sejenis barang berharga yang diberikan oleh kerabat wanita kepada kerabat laki-laki. Besar kecilnya uang jemputan didasarkan kepada status sosial dan martabat calon yang hendak dingini (A.A. Navis, 1984 : 133).
Keadaan Sosial di Kota Pariaman menimbulkan suatu bentuk pemerintahan tradisional dalam masyarakat, dengan terbaginya dua kenagarian dalam kota Pariaman yaitu ; nagari Pasar dan nagari V Koto Air pampan. Antara ke dua nagari nni disatukan oleh sungai Batang Piaman yang melintasi pusat kota. Sungai ini menjadi perbatasan ke dua nagari tersebut (Anas Nafis : 1992 : 6). Ke dua nagari terlibat langsung dalam pengaturan pelaksanaan tabuik di Pariaman semenjak dahulu sampai sekarang. Setelah melihat keadaan sosial, masyarakat Pariaman seperti di atas, aspek keagamaan sebagai bagian kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya.

2.3. Agama

Dalam kehidupan keagamaan masyarakat Pariaman umumnya beragama Islam, permasalahan agama bagi masyarakat Sumatera Barat umumnya dan Pariaman khususnya adalah prinsip hidup yang berarti bahwa hanya dikenal satu agama yaitu Islam. Merupakan aib besar bagi masyarakat kalau ada diantara anggota keluarganya yang beragama selain Islam, jika ada maka orang tersebut akan dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya.
Agama sebagai suatu sistem mencakup individu dengan masyarakat seperti adanya emosi keagamaan, keyakinan terhadap suatu paham, ritus dan upacara, seperti perayaan tabuik di Pariaman (M. Munandar Sulaiman, : 218). Akibatnya terjadi bermacam-macam kegiatan yang berhubungan dengan agama yang dianut oleh masing-masing pengikutnya. Sama halnya dengan masyarakat Pariaman yang sejak lama sudah beradaptasi dengan kaum Syiah, yang selalu mengadakan upacara keagamaan seperti upacara tabuik.
Perayaan tabuik Pariaman adalah kegiatan ritus dan upacara dan pada aliran Islam Syi’ah. Perayaan tabuik merupakan perpaduan antara nilai agam, seni dan uangkapan sastra yang diadakan sekali setahun tepatnya pada bulan Muharam tahun Hijriah (M. Nur, 1993: p. 7-8). Dalam perkembang selanjutnya masyarakat Minangkabau umumnya dan Pariaman khususnya mayoritas mengikuti aliran Suni sebagaimana dianut oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Mereka mengakui semua kepemimpinan khalifah serta meyakini adanya ijma’, qiyas dan ijtihad sebagai dasar hukum Islam yang sah (H.M. Rasyidi, 1984 : 48). Bagi masyarakat Pariaman perayan tabuik merupakan suatu acara yang hanya bertujuan untuk memperingati kematin cucu Nabi Muhammad S.A.W yaitu Hasan dan Hosen pada Perang Karbela, bukan pengkultuskan keluarga Ali bin Abi Thalib sebagaimana aliran Syi’ah (Rakiah, 1983 : 71). Di sini terlihat unsur yang dominan adalah ke sejaraha Islam dan unsur hiburan yang sudah merakyat dalam masyarakat Pariaman.
Agama Islam yang dianut oleh masyarakat Pariaman dalam prinsip ajarannya lebih mengikuti ajaran mazhab syafei yang dominan di Minangkabau maupun Indonesia. Salah satu ketentuan dan ajaran tersebut menyatakan bahwa stiap tempat (dalam pemerintahan nagari) hanya ada satu buah masjid untuk melaksanakan shalat jum’at, tetapi di Kota Pariaman terdapat dua buah masjid yang pembangunannya dari swadaya masyarakat dan subsidi perintah semenjak tahun 1929. Ke dua masjid tersebut yaitu masjid Raya Pasar dan Masjid Raya V Koto Air Pampan. Ketentuan ajaran mazhab Syafei tersebut bisa dimoditikasi kalau ingin membangun masjid baru dengan ketentuan jama’ah tidak tertampung dalam satu masjid, jarak antara satu masjid dengan masjid yang lain cukup jauh, adanya pertentangan paham antara ke dua jamaah tersebut (Aqib Suminto LP3ES, 1986: 38).

2.4. Sejarah tabuik

Kata tabuik berasal dari kata tabut, khusus orang Pariaman menyebutnya tabuik. Ini disebabkan pengaruh dialek Minang dimana konsonan akhir hurul “t” akan dilafalkan menjadi “ik” seperti takut menjadi takuik, larut menjadi laruik dan sebagainya. Menurut beberapa sumber tabuik adalah peti kayo yang dilapisi dengan emas (Brosur Depparpostel Sumbar, 1993/1994 dalam Khanizar Chands, 1995 : 7). Sedangkan menurut W.J.S. Poenwadarminta, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tabuik atau tabuik adalah sebuah peti yang dibuat darr anyaman bambu yang diberi kertas berwarna, kemudian dibawa berarak-arakan pada hari peringatan Hassan dan Housein tanggal 10 Muharram.
Se1anjutnya Muhammad Idrus Al Marbawi dalam kamus bahasa Arab Melayu mengatakan, tabuik berasal dari bahasa Arab yang artinya peti atau keranda. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tabuik berasal dari bahasa Arab yang artinya peti atau keranda yang dihiasi bunga-bunga dan kain berwama-warni lalu dibawa berarak-arak keliling kampung. Sedangkan pengertian tabuik di Pariaman adalah sebuah keranda yang diibaratkan sebagai usungan mayat Housein bin Ali yang yang terbuat dari bambu, kayu, rotan yang dihiasi dengan bunga “salapan”. Pada bagian bawah tabuik terdapat seekor burung burak berkepala manusia dan pada bagian atasnya terdapat satu tangkai bunga salapan yang disebut sebagai puncak tabuik.
Perayaan tabuik di Pariaman berasal dari Bengkulu yang dibawa oleh Bangsa Cipei atau Keling yang dipimpin oleh Imam Kadar Ali. Bangsa Cipei itu adalah sisa dari pasukan Inggris di Bengkulu. Sesuai dengan perjanjian antara Inggris dan Belanda yang dikenal dengan Traktat London tahun 1824, maka Belanda mengambil alih daerah Bengkulu dari tangan Inggris dan saat itu mereka terpencar-pencar bahkan ada yang sampai ke Pariaman. Kemudian pembuatan dan pembinaan tabuik di Pariaman dikembangkan oleh muridnya bernama Mak Sakarana dan Mak Sakaujana, dan merupakan orang yang mempelopori tabuik Pasar dan tabuik Kampung Jawa tabuik Pasar dan tabuik Cimparuh, Bato dan Karan Aur, sedangkan tabuik Kampunng Jawa melahirkan tabuik Pauh, Jati, Sungai Rotan (Zainul Anwar, 1982 : 14).
Perkembangan selanjutnya yaitu masa Kolonial Belanda, perayaaan dipertahankan dan terus diadakan serta dijadikan permainan anak nagari ini terbukti dengan adanya kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda bidang kebudayaan suatu daerah. Pemerintah Belanda memberi tempat terhadap adat istiadat dan budaya tradisional daerah seperti perayaan untuk terus berlangsung dimasyarakat pribumi, dengan memberikan dana untuk penyelenggaraan perayaan tabuik. Pada masa kolonial perayaan tabuik begitu digalakkan sehingga tabuik yang tampil sampai 12 buah. Perayaan tabuik pada masa itu bertujuan untuk menunjukan kekuasaan. Melalui perayaan tabuik akan menjadi perkelahian antar anggota tabuik akhirnya mereka juga yang menyelesaikannya. Perayaan tabuik dijadikan sebagai media untuk mengadu domba rakyat sesuai dengan politik yaitu memecah belah bangsa Indonesia (Wawancara, dengan Sidi Muchtar, tanggal 26 Juni 2000 di Pariaman).
Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, perayaan tabuik tidak rutin diselenggarakan, mengingat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, namun waktu dilaksanakan masih bersifat ritual, sehingga dinamakan adat yang disakralkannya. Ini terlihat pada permulaan pelaksanaan perayaan tabuik selalu dilaksanakan acara selamatan yang di pimpin oleh pewaris pawang masing-masing tabuik. Pada acara itu diawali dengan doa, dengan penyembelihan ayam serta pembakaran kemenyan di dalam tabuik yang diiringi dengan bacaan doa untuk kemuliaan arwah Hasan Hosein (Wawancara, Amir Hosein, tanggal 26 Juni 2000). Pada masa itu tabuik berjumlah 5 buah, yang dibiayai oleh masing-masing masyarakat di nagari. Dalam hal pembuatannya dilakukan secara gotong royong berlangsung sampai tahun 1969. (Wawancara, Sidi Muchtar, tanggal 2000).
Pada tahun 1969 sampai 1960 perayaan tabuik terhenti, ini disebabkan situasi yang tidak memungkinkan untuk diadakan, disamping tidak adanya keinginan masyarakat untuk melaksanakan, karena adanya perkelahian massal yang mengganggu ketentraman kota (Wawancara, Amir Hosein, tanggal 26 Juni 2000). Perayaan tabuik dihidupkan kembali tahun 1980, yaitu semasa Pariaman di bawah pimpinan Anas Malik, mengingat pembiayaan tabuik cukup besar, maka jumlah tabuik hanya tinggal 2 buah yaitu tabuik pasa dan tabuik subarang. Kedua tabuik itulah sampai saat ini bertahan untuk ditampilkan saat upacara tabuik berlangsung. Pada masa itu perayaan tabuik lebih ditekankan pada bidang pariwisata, sehingga bernama tabuik adat, wisata dan pembangunan (Wawancara, Sidi Muchtar, tanggal 26 Juni 2000).
Dasar dari pariaman tabuik adat tidak terlepas dar ikut sertaan nagari semenjak awal berkembangnya tabuik di Pariaman, serta ditambah dengan adanya eksistensi nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Minangkabau yang dipertahankan. Salah satu fungsi nagari bertugas menyelenggarakan serta pembinaan nilai adat Minangkabau, dalam rangka pelestarian kebudayaan daerah setempat.
Semenjak tahun 1991, tabuk di arahkan sebagai penarik wisatawan ke Pariaman dan mempromosikan wisata budaya yang langka di Sumatera Barat. Selanjutnya perayaan tabuik di Pariaman juga membawa pesan pembangunan Pemerintah dengan pendekatan sosial budaya yang bekembang di tengah masyarakat setempat, sehingga Pemerintah Daerah Pariaman telah mengangkat perayaan tabuik ini ke tingkat nasional pada pencanangan program Wisata Nasional 1991.
BAB III
DESKRIPSI UPACARA TABUIK

3.1. Nama dan Tahap-Tahap Upacara

1. Nama Upacara

Di daerah Pariaman terdapat suatu tradisi yang sangat unik dan langka yang sampai saat ini masih tetap lestari. Tradisi yang dimaksudkan adalah “upacara” tabuik. Upacara tabuik sudah menjadi permainan anak nagari yang digelar setiap bulan Muharram dan tanggal 1-10. Awalnya upacara tabuik dilaksanakan dalam rangka memperingati sahidnya Imam Housein di Padang Karbela, namun saat ini upacara tabuik juga dijadikan sebagai pertunjukan dalam upaya menghimpun dana buat pembangunan daerah setempat.
Disaat berlangsungnya upacara tabuik cukup banyak dana yang terkumpul dan tidak sedikit pula sumbangan yang datang dari perantau Pariaman. Kesempatan ini juga dimanfaatkan olek para perantau untuk pulang ke kampung halaman sekaligus bersilaturahmi bersama keluarga. Sumbangan yang diberikan oleh para perantau tidak saja berupa materi tetapi juga non materi (misalnya memberi peluang bagi anak nagari untuk berusaha diperantauan). Bagi masyarakat Pariaman musim bertabuik merupakan anugerah yang sangat besar karena disaat itu mereka bisa berkumpul dengan sanak saudara yang jauh. Di samping itu juga merupakan peluang yang sangat berharga untuk berusaha, bermacam-macam dagangan bisa digelarnya pada waktu itu.

2. Tahap-Tahap Upacara

Upacara tabuik dilaksanakan selama 10 hari. Selama 10 hari itu hanya 5 hari yang merupakan kegiatan inti sedangkan 5 hari lagi merupakan kegiatan fisik (pembuatan tabuik). Inti dan pelaksanaan upacara tabuik adalah mengungkapkan kembali kisah tragis yang dialami oleh Imam Housein pada masa perang Karbela. Pengungkapan kisah itu diringi dengan berbagai atraksi seperti musik, pembuatan keranda (tabuik) yang diusung sepanjang jalan menuju tempat pembuangan yaitu Pantai Gandoriah. Kegiatan yang sangat erat hubungannya dengan pencerminan kisah tersebut adalah mengambil tanah, mengambil batang pisang. maarak panja/jari-jari, maarak sorban, Selain dari kegiatan tersebut dalam palaksanaan upacara tabuik dan awal sampai akhir terdapat lagi beberapa kegiatan penunjang dan kelancaran kegiatan itu. Secara garis besar tahap-tahap pelaksanaan upacara tabuik adalah :

a. Barantam, artinya mengadakan musyawarah untuk palaksanaan penyelenggaraan upacara tabuik. Barantam dilakukan oleh warga masyarakat dengan cara dipanggil oleh orang yang dituakan dalam nagari. Barantam tidak termasuk ke dalam rangkaian upacara tabuik melainkan hanya merupakan proses kesepakatan masyarakat setempat untuk menyelenggarakan upacara tabuik.
b. Pembuatan tabuik, adalah suatu proses pembuatan tabuik yang dilakukan oleh para pekerja tabuik. Para pekerja memeriksa bahan-bahan pembuatan tabuik. Apakah semua bahan sudah cukup atau perlu ditambah lagi. Bila ternyata bahan-bahan dan alat pertukangan sudah lengkap baru mulai bekerja. Sebagai langkah awal bahan-bahan pembuatan tabuik didarahi dengan darah ayam agar para pekerja terhindar dari musibah.
c. Mengambil tanah, merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh pawang tabuik dan diikuti oleh peserta lainnya. Tanah yang diambil dijadikan sebagai simbol makam Imam Housein. Mengambil tanah dilakukan beramai-ramai dan disaksikan oleh penonton di sepanjang jalan.
d. Mengambil batang pisang merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh pawang tabuik dan diikuti oleh peserta lainnya. Batang pisang yang diambil dibawa ke darage dan ditanamkan dekat pusara, Mengambil batang pisang dilakukan beramai-ramai dan disaksikan penonton di sepanjang jalan.
e. Maarak panja/jari, berarti membawa panja yang berisi jari-jari pergi berkeliling kampung. Ini merupakan pemberitahuan kepada pengikut Imam Housein bahwa jari-jari tangan Imam Housein yang mati terbunuh telah ditemukan. Maarak panja dilakukan beramai-ramai disaksikan oleh penonton di sepanjang jalan.
f. Maarak sorban, berarti membawa sorban berkeliling kampung. Sorban biasanya terpakai di kepala dan ini menandakan bahwa Imam Housein telah dipenggal (sudah bercerai badan dengan kepalannya) Maarak sorban juga dilakukan beramai-ramai dan disaksikan oleh penonton di sepanjang jalan.
g. Tabuik naik pangkat, artinya menyatukan tiap-tiap bagian tabuik sehingga menjadi satu dan terlihat sangat menarik.
h. Ma-oyak tabuik, artinya tabuik yang sudah utuh dan sempurna dioyak bersama-sama oleh anak tabuik. Selain anak tabuik orang lain juga boleh Ma-oyak tabuik seperti undangan/tamu kehormatan.
i. Membuang tabuik, berarti membawa tabuik ke pantai dan dibuang/dihanyutkan ke laut lepas.

3.2. Maksud dan Tujuan Upacara

Secara umum maksud dan tujuan diselenggarakan upacara adalah untuk memint keselamatan, mendapat ridha dan berkah Tuhan sarta pernyataan syukur atas anugerahnya. Di samping itu pelaksanaan upacara tabuik tidak mendapat gangguan dan berjalan lancar. Upacara tabuik dimaksudkan untuk memperingati sahidnya Imam Housein cucu Nabi Muhammad SAW di Padang Karbela. Peristiwa ini hendaknya menjadi tauladan bagi umat islam, khusus masyarakat Pariaman dalam menegakan ajaran islam. Maksud dan tujuan upacara tabuik berdasarkan tahapan masing-masing adalah :
a. Barantam yaitu suatu pertemuan yang diadakan oleh masyarakat dalam rangka persiapan penyelenggaraan upacara tabuik. Maksud berantam itu adalah untuk mencari kesepakatan antar warga masyarakat. Kesepakatan yang dinginkan adalah untuk melaku pekerjaan pembuatan tabuik, dan pelaksanaan hari upacara. Yang tak kalah penting adalah kesepakatan dalam hal pengumpulan dana untuk membiayai segala kebutuhan selama berlangsungnya upacara. Kesepakatan masyarakat sangat diharapkan karena penyelenggaraan upacara memakan waktu lama, tenaga banyak dan biaya yang cukup besar. Biasanya biaya penyelenggaraan kegiatan tersebut berasal dari swadaya masyarakat, baik yang berada di kampung halaman maupun yang berada di perantauan. Perantau Pariaman selau memberikan bantuan dana buat kelancaran penyelenggaraan upacara. Pemberian bantuan itu ada yang diberikan secara langsung dan ada melalui perantara. Pada umumnya perantau Pariaman selalu pulang kampung pada saat musim tabuik, ini dikenal dengan istilah Piaman taraso langang, batabuik makonyo rami ( Pariaman terasa lengang, ketika upacara tabuik banyak orangnya ). Ungkapan ini mengandung makna bahwa Kota Pariaman ramai dikunjungi orang. Pada musim tabuik orang berbondong-bondong ke Pariaman guna menyaksikan langsung upacara tabuik.
b. Pembuatan tabuik, maksudnya melakukan pekerjaan pembuatan tabuik. Kayu, balok, bambu, manau dan rotan dirancang sedemikian rupa sehingga berbentuk tabuik. Tujuannya untuk diperagakan kepada pengunjung.
c. Mengambil tanah, maksudnya adalah sebagai pertanda bahwa manusia itu berasal dari tanah dan kembali ke tanah. Tanah yang diambil diletakan dalam belanga di deraga sebagai simbol makam Imam Housein. Pusara itu menjelaskan kepada pengikut Imam Housein bahwa jenazah Imam Housein telah ditemukan dan inilah pusaranya. Selain itu juga merupakan pedoman bagi semua manusia bahwa setiap yang bernyawa itu akan mati dan setelah mati hendaklah dikuburkan. Tujuannya adalah untuk memberi pertanda atau sebagai saksi bagi pengikut dan keluarganya dikemudian hari.
d. Mengambil batang pisang, dimaksudkan sebagai pelindung pusara dari sengatan matahari. Tujuannya adalah merupakan penggambaran kejadian di padang Karbela saat Imam Housein dipancung.
e. Maarak panja/jari-jari, dimaksudkan untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa Imam Housein yang mati dianiaya oleh pengikut Yazid bin Muawiyah telah ditemukan potongan jari-jarinya. Di samping itu, di pihak pengikut Imam Housein merupakan suatu pengkhianatan dan rasa duka cita yang amat dalam karena Imam yang meraka banggakan tewas dengan tidak wajar. Namun sebaliknya bagi pihak lain (pengikut Yazid bin Muawiyah) merupakan suatu kebanggaan bahwa mereka telah menang dan sebagai buktinya maka diperagakanlah jari-jari tangan yang telah terpotong kepada orang banyak dengan cara membawanya keliling kampung.
f. Maarak sorban, dimaksudkan untuk memberitahukan kepada masyarakat betapa kejamnya Yazid bin Muawlyah dan pengikutnya, sehingga mereka telah memenggal kepala Imam Housein.
g. Tabuik naik pangkat, tujuannya untuk menyatukan bagian-bagian dari tabuik sehingga kelihatan sangat sempurna. Sekaligus memperagakan kepada masyarakat bahwa apa yang mereka kerjakan selesai pada waktunya. Bagi orang yang melihatnya akan merasa haru karena rangkaian bagian tabuik yang mencapai tingi ± 14 meter mampu memikat pandangan para pengunjung. Tabuik setinggi ± 14 meter itu digotong bersama-sama menuju pasar. Di sana digandengkan dengan tabuik lawan, diadakan penilaian mana yang lebih cantik. Para penonton kadangkala merasa kebingungan dalam hal penilaian. Masing-masing tabuik mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam hal hiasannya, seperti kata pepatah “yang satu rancak dan yang satu lagi cantik”. Variasi warna- warni yang menghiasi kerangka tabuik sangat serasi. Warna-warna yang dipakai sengaja yang norak dan berkilat-kilat seperti warna merah, hijau, kuning, putih, hitam, biru, nila dan sebagainya yang apabila terkena cahaya matahari akan bertambah mengkilat.
h. Ma-oyak tabuik, tujuannya untuk memperlihatkan kepada masyarakat pengunjung bahwa tabuik yang dibuatnya mempunyai kekuatan yang ampuh. Bila tabuik digoncang berulang kali tidak ada bagian-bagiannya yang lepas. Pembuatan kerangka tabuik kebanyakan masih menggunakan tehnologi tradisional seperti memakai rotan untuk pengikat. Hanya sebagian kecil yang sudah menggunakan paku. Untuk merekatkan kain dan kertas pada tabuik digunakan lem. Dalam pembuatan tabuik dibutuhkan keahlian dan ketelitian karena tabuik yang dihasilkan haruslah kuat dan bila dibuat dalam berbagai posisi, misalnya dirobohkan tidak rusak.
i. Membuang tabuik, dimaksudkan untuk mengirim jasad Imam Housein untuk menghadap yang maha kuasa. Selain itu juga sebagai ucapan terimakasih kepada penghuni pantai yang telah memberi keselamatan dan berkah terhadap penduduk setempat.

3.3. Waktu Penyelenggaraan Upacara

Waktu penyelenggaraan upacara tabuik pada bulan Muharram (tahun baru Islam) dimulai pada tanggal 1-10. Penetapan waktu tersebut sangat erat hubungannya dengan peristiwa Perang Karbela. Rangkaian upacara itu mengisahkan tentang sahidnya Imam Housein cucu Nabi Muhammad SAW terjadi pada bulan Muharram. Peristiwa tragis itu oleh pengikut Imam Housein (kaum Syi’ah) terus diperingati, setiap tahunnya. Daerah Pariaman dahulunya pernah disinggahi/menetap sekelompok kaum Syi’ah. Di sana mereka sempat melaksanakan upacara tabuik, bahkan setiap tahunnya mereka laksanakan. Dari situlah bermulanya upacara tabuik di Pariaman dan sampai saat ini tetap dilaksanakan.
Waktu penyelenggaraan upacara terutama yang termasuk kegiatan ini menurut yang biasa dilakukan di Pariaman adalah sebagai berikut :

a. Berantam, dilakukan sebulan sebelum penyelenggaraan upacara. Waktu pelaksanaannya tidak ditentukan, tetapi pada umumnya dilakukanpada malam hari.
b. Pembuatan tabuik dilakukan mulai hari pertama tanggal 1 Muhanram. Waktu pelaksanaannya siang dan malam hari.
c. Mengambil tanah, dilakukan pada tanggal 1 Muharram. Waktu pelaksanaannya pada sore hari sekitar pukul 17.00 WIB.
d. Mengambil batang pisang, dilakukan pada tanggal 5 dan 6 Muharram. Tanggal 5 Muharram dilakukan penanaman batang pisang secara simbolis. Waktu pelaksanaannya pada malam hari sekitar pukul 21.00. Pada tanggal 6 Muharram baru dilakukan pengambilan batang pisang. Waktu pelaksanaannya sore hari sekitar pukul 17.00 WIB.
e. Maarak panja/jari-jari, dilakukan pada tanggal 7 Muharram. Waktu pelaksanaannya pada malam hari. Sedangkan pada siang hari menjelang waktu zhuhur dilakukan maatam.
f. Maarak sorban, dilakukan pada tanggal 8 Muharram. Waktu pelaksanaannya pada malam hari.
g. Tabuik naik pangkat, dilakukan pada tanggal 10 Muharram. Waktu pelaksanaannya dini hari menjelang subuh.
h. Ma-oyak tabuik, dilakukan pada tanggal 10 Muharram. Waktu pelaksanaannya dimulai sekitar pukul 13.00 WIB.
i. Membuang tabuik, dilakukan pada tanggal 10 Muhanram. Waktu pelaksanaannya sore menjelang magrib sekitar jam 18.00 WIB.

3.4. Tempat Penyelenggaraan Upacara

Semua kegiatan penyelenggaraan upacara bermula dari rumah tabuik Rumah tabuik adalah suatu tempat yang dijadikan pusat kegiatan upacara dari tempat pembuatan tabuik. Di lokasi rumah tabuik dibuat suatu tempa berukuran ± 5 x 5 m yang disebut dengan daraga. Daraga dipagari dengan pimpiang/palupuh dan sebagai atapnya dipasang terpal/plastik. Tarpal/plastik dipasang dengan cara pakai tonggak. Empat batang tonggak sepanjang ± 6 m dipasang pada tiap pojok dan satu batang tonggak sepanjang ± 7,5 m dipasang pada bagian tengah untuk meninggikannya dari bagian lain.
Di dalam daraga dibuat sebuah bangunan berbentuk pusara kira-kira berukuran 1 x 1 meter. Pusara itu dipagari dengan bambu yang dibelah kecil-kecil dengan tinggi pagar ± 1% m. Pada bagian atas pusara dibentangkan selembar kain putih sebagai penutup. Sedangkan bagian belakang, kain dan kanan dipasangkan bendera 3 warna, batang pisang dan tebu. Sebagai tempat penyelenggaraan upacara pada umumnya dimulai dari rumah tabuik, kecuali ada kegiatan khusus yang dilaksanakan ditempat lain. Untuk lebih jelasnya dapat dikuti uraian dibawah ini :
a. Kegiatan Barantam, dilakukan di balai adat pesertanya duduk berhamparan di atas tikar (pada masa dahulu) atau memakai kursi (masa sekarang). Barantam tidak merupakan kegiatan yang harus diselenggarakan di tempat khusus, bahkan kadang kala boleh diselenggarakan di tempat lain asalkan tempat tersebut bisa menampung orang banyak dan tidak mengganggu kegiatan lain.
b. Pembuatan tabuik, dilakukan di rumah tabuik Daraga.
c. Mengambil tanah dilalukan di dasar sungai. Sungai tersebut terletak di pembatasan wilayah lawan (kampung subarang).
d. Mengambil batang pisang dilakukan di suatu tempat yaitu sebagai simbol tempat (Padang Karbela) terjadinya peristiwa tragis terhadap Imam Housein.
e. Maarak panja/jari-jari dilakukan sekeliling kampung, sedangkan maatam dilakukan di rumah tabuik Daraga.
f. Maarak sorban dilakukan di sekeliling kampung, bahkan sampai ke daerah lawan.
g. Tabuik naik pangkat dilakukan di rumah tabuik Daraga.
h. Ma-oyak tabuik dilakukan di pasar, mengambil tempat yang strategis dan luas sehingga pengunjung mudah untuk menyaksikannya. Selain itu juga dilakukan di sepanjang jalan menuju pantai.
i. Membuang tabuik dilakukan di pantai Gandoriah Pariaman.

3.5. Penyelenggara Teknis upacara

Saat berlangsungnya penyelenggaraan upacara selalu ada orang yang terlibat langsung dan mempunyai peranan penting dalam menentukan kelancaran pelaksanaan upacara. Orang tersebut biasanya disebut pemimpin upacara. Sebagai penyelenggara teknis upacara tabuik adalah orang keturunan Cipai yang masih ada di Pariaman. Keturunan Cipai merupakan pewaris dari pelaksanaan upacara tabuik dan ini diberikan secara turun temurun. Penyelenggara teknis upacara tabuik itu dinamakan pawang tabuik (wawancara tgl 26 Juni 2000). Orang yang terlibat pada pelaksanaan upacara tabuik adalah sebagai berikut :
a. Barantam, kegiatan ini biasanya dipimpin oleh Wali Nagari yang dikenal dengan istilah janang. Jika yang bersangkutan tidak ada atau berhalangan maka beleh digantikan oleh yang lain ( yang dituakan dalam nagari).
b. Pembuatan tabuik dilakukan secara bersama-sama yang dipimpin oleh seorang tukang tabuik. Tukang tabuik adalah orang yang sudah ahli dalam pembuatan tabuik. Pekerja tabuik dibagi dalam tiga Kelompok. Masing-masing kelompok ada satu orang sebagai ketua sekaligus sebagai perancang kerangka tabuik.
c. Mengambil tanah dipimpin oleh orang siak (pemimpin upacara) dan pawang tabuik. Pawang tabuik adalah sebagai pemimpin dari semua kegiatan yang berhubungan langsung dengan kegiatan inti. Sedangkan orang siak hanya memimpin pembacaan doa sebelum berangkat dan setelah kembali mengambil tanah. Dalam hal ini pawang tabuik adalah orang yang menyelam ke dasar sungai untuk mengambil tanah. Sebelum terjun ke sungai dia membakar kemenyan disertai dengan mantra-mantra sesuai dengan apa yang diterimanya dari pendahulunya. Mantra yang dibacakan tersebut ditujukan untuk dirinya, benda yang akan diambilnya dan tempat pengambilannya.
d. Mengambil batang pisang juga dipimpin oleh orang siak (pemimpin upacara) dan pawang tabuik. Orang siak bertugas memimpin pembacaan doa sebelum berangkat dan setelah kembali mengambil batang pisang. Sedangkan pawang tabuik bertugas menebang. Sebelum melakukan pekerjaannya dia membakar kemenyan dan membaca mantra-mantra.
e. Maarak panja/jari dipimpin oleh orang siak (pemimpin upacara) untuk membacakan doa sebelum berangkat dan setelah kembali maarak panja/jari-jari. Pawang tabuik bertugas mengambil duplikat jari-jari dari rumah tabuik dibawa ke daraga baru berkeliling kampung. Setetah itu mengembalikannya ke rumah tabuik.
f. Maarak sorban dipimpin oleh orang siak (pemimpin upacara) untuk membacakan doa sebelum berangkat dan setelah kembali maarak sorban. Pawang tabuik bertugas mengambil dan mengembalikan sorban dari dan ke rumah tabuik. Sorban itu dibawa berkeliling kampung.
g. Tabuik naik pangkat dipimpin oleh orang siak (pemimpin upacara) dan pawang tabuik. Orang siak memimpin pembacaan doa ketika tabuik hendak dibawa ke pasar. Sedangkan pawang tabuik membaca mantra dan memberi pemanis pada tabuik yang akan dibawa ke Pasar.
h. Ma-oyak tabuik dipimpin oleh orang siak (pemimpin upacara) dan pawang tabuik. Orang siak memimpin pembacaan doa ketika bendak mulai Ma-oyak tabuik. Sedangkan pawang tabuik membaca mantra-mantra agar tabuik dan pesertanya tidak mendapat musibah terhindar dari perbuatan jahat dan tabuik lawan atau manusia lainnya.
i. Membuang tabuik dipimpin oleh pawang tabuik.

3.6. Pihak Yang Terlibat Dalam Upacara

Pada umumnya penyelenggaraan upacara melibatkan orang banya Rangkaian upacara tabuik melibatkan tokoh masyarakat (Alim ulama, cerdik pandai, dan pemuka adat), pemimpin upacara, pawang, pemain musik pemuda, pekerja tabuik dan penonton. Secara umum dalam pelaksanaan setiap bagian upacara pihak yang terlibat disesuaikan berdasarkan kepentingannya, sehingga penentuan jumlah dan orang yang terlibat berbeda pada setiap rangkaian upacara. Pada Barantam, jumlah orang yang terlibat cukup bersyarak yaitu tokoh masyarakat, pengusaha dan pemuda. Semua unsur ini sengaja dilibatkan karena ini merupakan langkah awal persiapan penyelenggaraan upacara. Segala sesuatunya dibicarakan pada kesempatan tersebut.
Tukang tabuik telah menentukan orang-orang yang tarlibat dalam pembuatan tabuik dengan tugasnya masing-masing. Dengan demikian orang yang terlibat dalam pembuatan tabuik adalah pekerja tabuik dan penonton. Ketika pengambilan tanah orang yang terlibat adalah pemimpin upacara, paserta upacara pawang tabuik, pemain musik dan penonton yang mengiringi rombongan tersebut. Peserta upacara tardiri dari orang tua-tua, pemuda dan anak-anak semuanya laki-laki. Untuk pengambilan batang pisang orang yang tertibat sama dengan waktu pengambilan tanah, hanya saja ditambah dengan parewa.
Saat maarak panja/jari-jari orang telibat yaitu pimpinan upacara, peserta upacara, pawang tabuik, pemain musik dan penonton. Peserta upacara terdiri dari orang tua-tua, pemuda dan anak-anak semuanya laki-laki. Demikian juga halnya maarak sorban, orang yang terlibat sama dengan pada saat maarak panja/jari-jari dan ditambah dengan penghuni rumah-rumah yang mereka kunjungi untuk minta sedekah, Orang yang terlibat pada saat tabuik naik pangkat adalah pawang tabuik, pekerja tabuik dan pemain musik. Di sini penonton tidak begitu banyak karena tabuik naik pangkat dilakukan dini hari saat orang sedang nyenyak tidur.
Sebagai rangkaian upacara tarakhir yaitu Ma-oyak tabuik, melibatkan orang-orang seperti tokoh masyarakat, pemimpin upacara, pemain musik, pawang tabuik, anak tabuik dan penonton yang melimpah ruah membanjiri kota Pariaman Pada kegiatan ini yang tak kalah penting adalah peranan pihak keamanan. Di mana kesibukannya melebihi dari yang biasa mengawasi orang yang begitu banyak. Semua jalan, pertokoan dan sebagainya dibanjiri orang sehingga lalu lintas jadi macet. Pusat pertokoan yang dilalui iringan tabuik penuh sesak oleh penonton bahkan sampai pada lantai II pertokoan tarsebut. Selain mengurus hal yang demikian juga mengurus anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Hampir setiap menit terdengar panggilan dari posko keamanan bahwa ada anak yang sedang manangis mencari orang tuanya. Mengatur orang-orang yang membawa barang dagangan juga sangat sulit karena pada umumnya mereka berjualan sambil melihat iringan tabuik, sehingga sering terlanggar oleh para pengunjung yang berdesakan.
Petugas kesehatan juga terlibat terutama dalam menangani musibah kecelakaan. Pada waktu berlangsung upacara saling terjadi kecelakaan kecil akibat dari emosi baik antara anak tabuik maupun penonton. Pengusaha angkutan dan rumah makan/restoran juga terlibat terutana dalam memenuhi kebutuhan para pengunjung yang berasal dari luar daerah. Untuk membuang tabuik ke laut dilakukan secara bersama-sama oleh beribu-ribu penonton.

3.7. Persiapan dan Perlengkapan Upacara

Persiapan yang dilakukan oleh panitia sebelum menyelenggarakan upacara tabuik adalah penyediaan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk kegiatan, baik kegiatan inti maupun kegiatan fisik. Kegiatan inti yaitu kegiatan yang menyangkut pelaksanaan teknis seperti Barantam, pengambilan tanah, pengambilan batang pisang, maarak panja/jari-jari. maarak sorban sebagainya. Sedangkan kegiatan fisik yang pembuatan tabuik. Sebagai langkah awal yaitu Barantam, pihak penyelenggara mempersiapkan tempat palaksanaannya. Tempat yang disediakan misalnya balai adat, karena tempat tersebut mempunyai ukuran yang besar sehingga bisa menampung orang banyak.
Kira-kira seminggu sabelum pelaksanaan upacara pihak panitia sudah mulai bekerja membuat daraga di dekat rumah tabuik. Tanah seluas ± 5 x 5 meter itu dipagari dengan palupuh/pimping dan dipasangkan terpal/plastik untuk melindungi orang bekerja dari sengatan matahari dan hujan. Sementara itu bahan-bahan pembuatan tabuik mulai di persiapan. Bahan pembuatan kerangka tabuik terdiri dari kayu, balok, bambu, rotan, paku, tali dan pertukangan seperti martil, gergaji, kapak, parang, pisau dan sebagainya. Sedangkan bahan untuk pembalut kerangka tabuik adalah kain (boleh kain beludru/kain biasa), kertas manila, kertas bunga dan lem Setelah daraga selesai barulah bahan-bahan pembuatan kerangka tabuik itu diletakkan di sana. Untuk kegiatan upacara pengambilan tanah perlangkapa yang perlu adalah :

1. Kain putih ukuran 1 meter sebanyak 2 lembar
2. Belanga 1 buah (yaitu sejenis periuk yang terbuat dari tanah liat)
3. Kemenyan secukupnya
4. Tabuik lenong 1 buah
5. Alat musik tabuik satu set

Demikian juga pada saat pengambilan batang pisang. Pihak panitia menyediakan peralatan yang dibutuhkan. Perlengkapan untuk pengambilan batang pisang adalah kemenyan dan sebuah pedang yang sudah diasah dengan sangat tajam. Ketajaman pedang itu diperkirakan bisa menebang batang pisang dengan sekali potong langsung putus. Selain itu juga disertai dengan satu group pemusik dan satu buah tabuik lenong untuk memeriahkan rombongan diperjalanan. Perlengkapan lain (selain tabuik lenong dan musik tabuik) yang dibutuhkan untuk upacara maarak panja/jari-jari adalah :

1. Satu buah panja
2. Lima pasang jari-jari yang terbuat dari seng tipis
3. Lima untai bunga kenanga
4. Satu buah kaki yang terbuat dari papan
5. Beras kuning
6. Bunga rampai
7. Perasapan dari sabut
8. Dua buah lampu damar

Panja yaitu sejenis keranda mini yang terbuat dari bilah (bambu yang dibelah) berbentuk setengah lingkaran. tingginya ± 75 cm dan lebar ± 60 cm. Bagian atasnya ditutupi dengan kain putih sedangkan bagian dindingnya ditutup dengan kertas plastik putih. Dalam panja itu terdapat lima pasang tiruan jari-jari tangan dan lima untai bunga kenanga. Dibagian depan panja terdapat sebuah baki berisi beras kuning bunga rampai, perasapan dan lampu damar. Sedangkan yang termasuk pelengkapan upacara maarak sorban adalah sorban. Di samping itu sorban juga digunakan sebagai tempat uang sumbangan dan masyarakat.
Sebelum tabuik naik pangkat dicek dulu tiap-tiap bagian tabuik. apakah betul-betul sudah siap sesuai dengan yang sebenarnya. Saat tabuik naik pangkat yang perlu dipersiapkan adalah ramuan pemanis yang akan dipercikan pada tabuik. Sedangkan upacara Ma-oyak tabuik perlengkapan yang dibutuhkan adalah coustum anak tabuik, group kesenian pengiring tabuik dan atraksi lainnya. Selain itu juga diadakan pembuatan pentas, kehormatan sebagai tempat para undangan. Tujuan pembuatan pentas adalah sebagai penghormatan terhadap tamu/undangan sekaligus menghindarinya dari desakan penonton lainnya. Di samping itu juga untuk memudahkan mereka untuk menyaksikan secara Ma-oyak tabuik.

3.8. Jalannya Upacara

Upacara tabuik dianggap sebagai peristiwa sakral (terbunuhnya seorang Imam yang sangat dikagumi ) bagi kaum Syi’ah khususnya dari umat Islam lain umumnya. Peristiwa itu sangat menyedihkan terutama tagi pengikut kaum Syi’ah yang sangat fanatik terhadap Imam Housein. sehingga dimanapun mereka berada tetap memperingati peristiwa tersebut dengan bertabuik.
Penyelenggaraan upacara tabuik terlaksana berkat kerja sama warga masyarakat. Setiap unsur masyarakat balhu membahu demi suksesnya upacara tersebut. Sebulan sebelum bulan Muharram masyarakat Pariaman telah mengadakan musyawarah untuk melaksanakan upacara tabuik. Dalam rapat itu dibicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan tersebut. Rapat persiapan dikenal dengan istilah “Barantam”, maksudnya saat rapat berlangsung terjadi pertengakaran, pentikaian pendapat dan perbedaan ide, sehingga menimbulkan emosi.
Ketika Barantam masing-masing peserta mempertahankan gengsi dan bersaing dalam memberikan sumbangan serta saling atas mengatasi. Sedangkan pimpinan rapat dengan ketangkasan dan kelincahan serta sifat humornya bisa menarik peserta untuk menyumbang lebih banyak lagi Setiap sumbangan yang datang diteriakkan sehingga menimbulkan emosi bagi yang sumbangannya lebih kecil dari yang lain. Suasana seperti itu sudah biasa bagi masyarakat setempat terutama disaat mau bertabuik. Partisipasi mereka dalam mambiayai penyelenggaraan upacara tabuik merupakan kebanggaan dan rasa puas yang tak terhingga.
Pada saat Barantam selain pengumpulan dana juga diadakan pembentukan panitia dan pembagian tugas. Pembentukan panitia dipimpin oleh “Tuo Tabuik” dialah yang melakukan pembagian tugas tersebut Setelah mengadakan rapat masing-masing panitia mulai melaksanakan tugasnya. Yang terpenting adalah panitia yang bertugas menyediakan bahan-bahan pembuatan tabuik seperti pengadaan kayu, bambu, rotan, dan manau. Bahan-bahan itu sudah tersedia di rumah tabuik sebelum acara inti dilaksanakan. Pada hari pertama dimulailah pembuatan kerangka tabuik. Sebelum memulai pekerjaan terlebih dahulu bahan-bahan pembuatan kerangka tabuik didarahi dengan makaud supaya orang yang mengerjakan tidak mendapat musibah.
Sementara itu pada sore harinya dilakukan pengambilan tanah. Setiap memulai dan mengakhiri kegiatan terus disertai dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh orang siak. Peserta upacara mengambil tanah sekitar jam 17.00 WIB berkumpul di rumah tabuik. Setelah semuanya siap barulah rombongan pergi menuju lokasi pengambilan tanah yaitu di sebuah sungai. Adapun syarat dari sungai tersebut adalah :

1. Sungai yang berada di perbatasan wilayah yang berlawanan;
2. Sungai yang airnya mengalir, bersih dan bisa untuk berudhu;
3. Sungainya dalam dan mempunyai lubuk.

Rombongan upacara pengambilan tanah berangkat dari rumah tabuik menuju lokasi pengambilan tanah diiringi dengan musik tabuik dan dimeriahkan dengan atraksi tabuik lenong. Musik tabuik terdiri dari satu buah tasa dan enam buah gendang. Tasa dan gendang adalah alat musik pukul yang mempunyai perbedaan bentuk yaitu tasa lebih kecil bermuka satu sedangkan gendang lebih besar dan bermuka dua. Alat musik tersebut dapat dilihat pada gambar 1. Gendang tasa berfungsi sebagai komando dari gendang yang lain. Justru itu gendang tasa oleh pawang diberi mantra agar bunyinya berbeda dengan bunyi gendang yang lain. Pada gendang tasa itulah terletaknya kekuatan sakti yang membuat para anak tabuik setiap kali bertemu dengan anak tabuik yang lain pasti berkelahi. Hal ini dikenal dengan istitah gendang berbunyi cakak (perkelahian) mulai dan setelah gendang berhenti perkelahian pun berhenti.
Perkelahian yang terjadi pada musim tabuik tidak membawa efek sampingan artinya tidak terjadi dendam/permusuhan yang berlarut-larut, hanya sebatas disaat itu saja. Selesai upacara tabuik mereka berteman seperti biasa lagi, seolah-olah tidak ada terjadi apa-apa. Perkelahian yang terjadi ada juga yang sempat mengeluarkan darah, gigi tanggal, bengkak-bengkak dan sebagainya seperti yang diungkapkan oleh Amir Hasan ( Mak Aciek Lumuik)

“Setiap berlangsungnya upacara tabuik pasti terjadi perkelahian, Perkelahian itu ada yang sampai membawa cedera seperti luka-luka terutama pada bagian kepala, ada juga yang patah giginya akibat terantuk sesama kawan dsb. Perkelahian itu tidak saja sesama anak tabuik tetapi kadangkala penonton juga serta. Informan sendiri pernah kepalanya luka akibat lemparan batu dari anggota tabuik lawan. (wawancara tanggal 26 Juni 2000)”.

Tabuik lenong mempunyai ukuran yang lebih kecil dari tabuik yang diperagakan pada hari terakhir upacara tabuik. Tabuik lenong tidak mempunyai burak dan telah dipersiapkan sebelum upacara tabuik berlangsung. Tabuik lenong disimpan di rumah tabuik yang dipergunakan untuk pengiring setia kegiatan upacara. Setelah selesai masing-masing kegiatan upacara itu maka tabuik lenong dikembalikan ke rumah Tabuik untuk disimpan. Bentuk tabuik lenong dapat dilihat pada gambar 2.
Para rombongan upacara pengambilan tanah sampai di lokasi sekitar jam 18.00 WIB (sebelum shalat magrib). Mereka shalat magrib bersama setelah itu baru dilakukan pengambilan tanah. Pengambilan tanah dilakukan oleh pawang dengan menyelam ke dasar sungai. Saat pawang menyelam. dibantu oleh 4 orang anggota. Tiga orang diantaranya sebagai saksi dan berada di dekat pawang menyelam. Sedangkan satu orang lagi berdiri di tepi sungai memegang belanga untuk menampung tanah yang telah diambil dari dasar Sungai.
Kain putih yang disediakan sebanyak dua lembar, satu lembar dipergunakan oleh pawang sebagai kain basahan (penutup anggota tubuh) saat menyelam. Satu lembar lagi dipergunakan untuk pembungkus belanga. Belanga digunakan sebagai tempat pembawa tanah sekaligus sebagai penutupnya di atas pusara dalam daraga. Banyaknya tan yang diambil kira kira 5 kg (satu belanga). Sebelum pawang terjun ke sungai mengambil tanah, terlebih dahulu dia membakar kemenyan dan membaca mantra-mantra.
Dalam perjalanan pulang rombongan tabuik yang satu bartemu dengar rombongan tabuik yang satu lagi. Pertemuan ini terjadi di tengah-tengah perbatasan wilayah. Pada pertemuan itulah terjadinya “cakak” (perkelahian) antara kedua rombongan tersebut dengan saling melempari batu yang terkadang mengakibatkan luka-luka. Perkelahian ini selalu terjadi pada saat kembali dari pelaksanaan upacara.
Tanah yang mereka ambil sampai di deraga diletakkan di suatu tempat yang disebut dengan pusara. Onggokan tanah itu seolah-olah makam Imam Housein. Selesai pengambilan tanah dilanjutkan dengan pekerjaan fisik yaitu pembuatan kerangka tabuik. Pembuatan tabuik harus siap pada waktu yang telah ditentukan seperti yang diungkapkan oleh Amir Hasan (Mak Aciek Lumuik) berikut ini :

“Pembuatan tabuik dilakukan siang dan malam tanpa hentinya kecuali makan mereka istirahat dan keperluan lain secara bergantian. Selama pembuatan tabuik daraga tidak beleh ditinggalkan paling tidak ada satu atau beberapa orang yang menjaganya. Tabuik harus siap selama sepuluh hari oleh sebab itu tukang tabuik hendaklah orang yang benar-benar ahli dalam pembuatan tabuik. Jika tabuik tidak siap dalam sepuluh hari maka tukang tabuik akan ditakut-takuti oleh roh-roh yang ada di rumah tabuik, bahkan kalau tabuik itu ditinggalkan maka akan ada peralatan kerja yang hilang. Apabila tebuik telah selesai harus dibuang ke lautan, kalau tidak akan mendatangkan malapetaka sekampung, karena roh-roh yang ada pada tabuik belum diantarkan ketempatnya (wawancara tanggal 26 Juni 2000).”

Proses pembuatan tabuik dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok pembuat dasar tabuik, kelompok pembuat badan tabuik dan kelompok pembuat puncak tabuik. Pembagian ketiga kelompok itu sesuai dengan bagian-bagian tabuik yang akan dibuat. Ketiga bagian tabuik itu menompang di atas punggung burak. Mengenai bentuk tabuik dapat dilihat pada gambar 3.
Bagian kaki tabuik/dasar tabuik terdiri dari pasu-pasu (berbentuk limas segi empat), tutup selancar dan empat tangkai bunga selapan. Bunga selapan dipasangkan pada tiap sudut tutup selancar. Fungsi bunga selapan itu sebagai jari-jari keseimbangan saat tabuik diarak dan digoncangkan. Bagian badan tabuik terdiri dari bilik-bilik, pasu-pasu, tutup selancar, gomaik dan pucuk rebung (jumlahnya antara 5 - 7) serta empat tangkai bunga selapan yang dipasang pada tiap sudut tutup selancar. Bagian dasar dan badan tabuik dihiasi dengan kertas manila berwarna warni yang dibentuk sedemikian rupa sehingga tampak bermotif-motif seperti kain. Kecuali gomaik, dihiasi dengan kain beludru berwarna, diberi tempelan kertas warna-warni yang sudah diukir/dibentuk sedemikian rupa. Motif yang dibuat itu bermacam-macam sesuai dengan imajiansi yang ada dalam pikiran sipembuat tersebut.
Bagian puncak tabuik terdiri dari satu tangkai bunga selapan. Kerangka bunga selapan dihiasi dengan kertas bunga berwarna putih yang dibentuk seperti bunga melati. Bunga selapan pada puncak tabuik mempunyai ukuran yang berbeda dengan bunga selapan yang terdapat pada badan dari dasar tabuik. Bunga selapan pada puncak tabuik mempunyai ukuran yang lebih besar dengan diameter ± 1 meter. Sedangkan bunga selapan pada badan dan dasar tabuik lebih kecil dengan diameter ± 60 cm. Tiang penyangga tabuik juga dihiasi dengan kertas warna-warni yang dibalutkan pada semua tiang.
Kertas pembalut tiang tersebut juga dihiasi dengan bermacam-macam motif sehingga kelihatan sangat indah. Kerangka burak dilapisi dengan kain beludru berwarna dan untuk sayapnya dipakai kain biasa yang bermotif. Sebagai kepala burak dipasangkan kepala boneka berwajah perempuan dengan rambut terurai sebatas punggung. Di bagian leher dipasang kalung. Pada hari ke lima tepatnya malam hari dilakukan penanaman batang pisang secara simbolis. Sebelum kegiatan itu berlangsung terlebih dahulu panitia penyelenggara telah menentukan lokasi tempat pengambilan batang pisang yang dianggap sebagai Padang Karbela.
Pada malam harinya sekitar jam 21.00 WIB pawang tabuik mengutus tiga orang anggota untuk pergi mencari batang pisang kedaerah lawan. Kepergian mereka dirahasiakan dan dilindungi oleh pawang secara megic dari rumah tabuik. Mereka yang bertugas mengambil batang pisang itu disebut “parewa tabuik”. Setelah batang pisang didapatkan dibawa ke lokasi yang telah ditentukan. Di sana telah menunggu beberapa orang yang akan membantu mereka menanam batang pisang. Penanaman batang pisang itu hanya sebagai simbolis untuk acara pengambilan batang pisang esok harinya. Pekerjaan itu dilakukan secara rahasia, artinya tidak melibatkan orang banyak seperti pada kegiatan lain. Pekerjaan itu dilakukan oleh beberapa orang saja yang telah ditunjuk oleh pawang tabuik. Sementara berlangsungnya kegiatan tersebut, pembuatan tabuik tetap dilaksanakan.
Keesokan harinya baru dilakukan pengambilan batang pisang. Peserta upacara berkumpul di rumah tabuik sekitar jam 17.00 WIB. Seperti biasa sebelum berangkat dan setelah kembali diadakan pembacaan doa. Rombongan upacara pengambilan batang pisang berangkat dari rumah tabuik ke lokasi yang telah ditentukan dengan diiringi musik tabuik dan atraksi tabuik lenong. Satu orang dari anggota rombongan ditugasi membawa dulang berisi kemenyan. Dulang tersebut biasanya dibawa oleh anak-anak berumur 10-15 tahun, sedangkan pedang dibawa oleh pawang tabuik.
Para rombongan sampai di lokasi sekitar jam 18.00 WIB (sebelum shalat magrib). Pengambilan batang pisang dilakukan setelah shalat magrib. Sebelum menebang batang pisang pawang tabuik juga membakar kemenyan dan membaca mantra-mantra. Setelah batang pisang diambil lalu mengambil tebu. Batang pisang dan tebu masing-masing diambil 3 batang dengan memperhatikàn bahwa batang pisang dan tebu yang diambil harus dari pangkal sampai ke pucuk tanpa ada yang dibuang.
Dalam perjalanan pulang rombongan tabuik yang satu bertemu dengan rombongan tabuik yang lain. Pertemuan terjadi di tengah-tengah perbatasan wilayah yang mengakibatkan terjadi lagi “cakak” (perkelahian) antara kedua rombongan tersebut. Batang pisang dan tebu yang sudah diambil dibawa oleh anak-anak dan sampai di daraga ditanam dekat pusara guna melindungi pusara dari sengatan matahari. Setelah kegiatan tersebut kembali melanjutkan pembuatan tabuik. Keesokan harinya, yaitu pada hari ketujuh diadakan upacara maarak panja/jari-jari. Maarak panja/jari-jari dilakukan pada malam hari. Sedangkan siang harinya sekitar jam 12.00 WIB diadakan maatam.
Maatam yaitu orang menangis sambil mengelilingi daraga. Tangisan sedih itu disertai dengan iringan musik tabuik. Bunyi gendang dimainkan dengan irama yang sangat minor sehingga menambah sedih orang yang mendengarnya terutama orang keturunan Cipai (penghuni rumah tabuik). Maatam lebih ditujukan pada orang rumah tabuik ( keturunan Cipai ) untuk memanggilnya. Mendengar ratapan tersebut mereka ada yang sampai pingsan. Maatam dilakukan sangat khidmad, ini menyimbolkan kekejaman Yazid bin Muawiyah dan tentaranya yang melakukan pembatalan terhadap Iman Housein. Jari-jari dari anggota tubuhnya yang lain dipotong satu persatu serta dibuang ditempat yang terpisah.
Sebelum maarak panja, yang dibawa oleh pawang tabuik, terlebih dahulu duplikat jari-jari diambil dari rumah tabuik untuk dibawa ke daraga. Setelah pembacaan doa barulah rombongan melakukan perjalanan berkeilling kampung dengan diiringi musik tabuik dan tabuik lenong. Bentuk panja dapat dilihat pada gambar 4. Dalam perjalanan pulang seperti biasa terjadi lagi “cakak” (perkelahian) antara kedua rombongan tabuik tersebut. Sementara itu kegiatan pembuatan tabuik tetap dilaksanakan sekalipun ada kegiatan khusus yang sedang berlangsung.
Maarak sorban dilakukan pada malam hari di hari ke delapan. Sorban diambil dari rumah tabuik dibawa ke daraga. Sorban dalam kehidupan sehari-hari biasanya dipakai oleh seorang Imam, khalifah atau pemimpin agama islam yang diselepangkan di kepala. Sorban dalam tulisan ini berfungsi sebagai simbol sorban Imam Housein yang mati di Padang Karbela. Sedangkan sorban dalam upacara tabuik diwujudkan seperti payung yang terbuat dari triplek, bagian luarnya dihiasi dengan kertas berbentuk bunga melati. Payung besar itu diletakkan pada puncak tabuik sehingga kelihatan seperti sorban di atas kepala.
Maarak sorban dilakukan dari daraga terus berkeliling kampung diiringi musik tabuik dan tabuik lenong. Sorban dibawa dari rumah ke rumah sambil minta sedekah. Uang yang diperoleh tersebut dipergunakan untuk keperluan anak tabuik/anggota tabuik. Kegiatan semacam itu dikenal dengan maradai. Dalam perjalanan pulang seperti biasa rombongan tabuik yang bertemu lagi dengan rombongan tabuik yang satu lagi. Pada pertemuan terjadi lagi “cakak” (perkelahian) antara kedua rombongan tabuik tersebut.
Selama berlangsungnya penyelenggaraan upacara tabuik mulai malam partama sampai malam tabuik naik pangkat setiap malamnya diadakan hiburan. Hibunan itu berupa penampilan kesenian daerah seperti indang, rabana, debus dan sejenisnya. Selain hiburan juga diselingi dengan kegiatan lain bernuansakan keagamaan seperti lomba busana muslim dan sebagainya.
Pada hari kesembilan diperkirakan tiap-tiap bagian tabuik hampir selesai dikerjakan. Karena hari itu sudah hari yang terakhir dan menjelang subuh tabuik akan naik pangkat. Tabuik naik pangkat dilaksanakan pada hari kesepuluh sekitar jam 04.00 WIB (menjelang subuh). Diperkirakan orang pulang sembahyang subuh sudah bisa melihat tabuik secara utuh dan siap dibawa ke lapangan/pasar untuk digandengkan dengan tabuik lawan. Sebelum tabuik dibawa ke pasar terlebih dahulu dibacakan mantra dan diberi pemanis oleh pawang tabuik. Pemanis itu terdiri dari bermacam-macam ramuan dibuat sendiri oleh pawang. Secara kasar ramuan itu terdiri dari :

1. Kasiek tujuo muano ( pasir tujuh sungal)
2. Bunga tujuh macam
3. Limau tujuh macam
4. Kemenyan putih secukupnya
5. Timah putih secukupnya
6. Daun sitawa
7. Daun sidingin

Cara meramunya adalah semua bahan tersebut di atas diris-iris, (kecuali kemenyan, timah dan pasir) disatukan dengan dimasukan kedalam belanga yang sudah berisi air. Ramuan pemanis itu ditaburkan pada tabuik, dengan tujuan supaya tabuik terhindar dari kekuatan sihir dan pengaruh megic tabuik lawan atau dari sumber kekuatan lainnya di luar jangkauan manusia. Selain tabuik anak tabuik juga diharuskan memakai pemanis. Caranya adalah dengan mencuci muka dengan air ramuan pemanis atau paling tidak sekedar mencelupkan tangan pada air ramuan tersebut. Setelah tabuik diberi pemanis baru dibawa ke pasar dengan cara digotong bersama-sama oleh anak tabuik. Menjelang jam 13.00 WIB tabuik tetap berada di sana dan dijaga oleh anak tabuik, sementara orang sudah ramai menyaksikanya.
Pada hari terakhir tanggal 10 Muharram merupakan acara puncak dari beberapa rangkaian upacara yang dilaksanakan sebelumnya. Ma-oyak tabuik dilaksanakan pada hari kesepuluh. Benda pusaka yang berhubungan dengan perlengkapan upacara seperti pedang, keris, parang, pisau, galah dan tombak dipergunakan semuanya.
Ma-oyak tabuik juga diiringi dengan musik gendang, debus yang dimainkan sepanjang jalan menuju tempat pembuangan. Pada saat ma-oyak tabuik gendang tasa tidak dipakai lagi. Peserta upacara Ma-oyak tabuik semuanya berada di pasar dan secara bersama-sama mengiringi tabuik menuju tempat terakhir di Pantal Gandoriah. Setelah tabuik pasar dan tabuik subarang bergandengan barulah dimulai Ma-oyak tabuik. Secara berganti-gantian tabuik dioyak dan ada pula secara serentak ma-oyaknya. Cara Ma-oyak tabuik yaitu anak tabuik menghentak-hentakan tabuik secara berulang-ulang. Ma-oyak tabuik tidak saja terjadi pada tempat tersebut tetapi di sepanjang jalan menuju pantai. Jarak 100 mater tabuik dioyak, makin lama makin seru karena antara anak tabuik pasar dan subarang saling bersorak. Demikian juga pemain musik dan kedua kelompok saling menunjukkan kebolehan dalam memainkan alat musik dengan bermacam irama sehingga bunyinya sangat merdu. irama musik yang dilantunkan membawa pengaruh terhadap masing-masing kelompok dan akhirnya timbul saling mengejek.
Ketika iringan tabuik sampai ke tepi pantai haripun sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB dan matahari mulai terbenam, iringan tabuik sampai ke tepi pantai. Diwaktu sore yang cerah itulah tabuik siap untuk dibuang ke laut. Secara bersama-sama tabuik digotong ke laut, hingga kira-kira air laut sebatas dada tabuik dilepaskan. Sementara itu para penonton/pengunjung sudak tak sabar lagi menunggu, karena mereka akan memperebutkan tabuik. Menurut kepercayaan sebahagian masyarakat bahwa kepingan dan atribut tabuik yang sudah dibuang itu bisa digunakan untuk keperluan khusus antara lain dijadikan sebagai jimat, ramuan obat dan sebagainya sesuai dengan keyakinan pemakainya. Sampai saat ini masyarakat masih percaya hal tersebut karena pada setiap bagian-bagian tabuik tersebut tersimpan kekuatan gaib yang dapat membantu kehidupan manusia. Oleh sebab itulah mareka berebut untuk mendapatkan bahan tersebut, walaupun hanya sepotong kain pembalut burak dan sebagainya. Salah satu kegunaannya yang sering dipergunakan orang adalah sebagai pelaris barang dagangan. Dengan susah payah, menantang ombak mereka terus berusaha untuk mengambil bahan-bahan pembuatan tabuik. Suasana seperti tersebut dapat dilihat pada gambar 5.
Tanpa disadari waktu berjalan tarus beranjak malam sedangkan penonton masih asyik juga melihat orang bergelut dengan tabuik. Satu persatu baju tabuik sudah lapas hingga kerangka tabuik saja yang dihempas-hempaskan ombak. Bagi mereka yang mendapatkan bahan-bahan tabuik pulang dengan bangga sekalipun dia sudah basah kuyup. Dengan dibuangnya tabuik ke laut berarti usailah sudah upacara tabuik, niat sudah sampai dan kembali lagi seperti biasa.

3.9. Pantangan Yang Harus Ditaati

Selama berlangsungnya penyelenggaraan upacara tabuik hampir tidak ada pantangan yang mesti dipatuhi baik oleh pekerja tabuik, masyarakat setempat dan penonton. Hanya ada sedikit pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu memakan makanan yang berdarah seperti daging, ikan dan sejenisnya. Pantangan ini hanya bagi orang rumah tabuik saja (keturunan Cipai). Bila pantangan ini terlanggar maka akan ada musibah menimpa yang bersangkutan seperti yang diungkapkan oleh Amir Hasan (Mak Aciek Lumuik)

“Pernah terjadi pada masa dahulu, ketika musim tabuik salah seorang dari keluarga rumah tabuik (kakak lnforman) memakan ikan. Beberapa hari setelah itu perutnya jadi basar, sudah diobati tidak ada perobahan dan tetap begitu sampai akhir hayatnya (wawancara tanggal 26 Juni 2000)”.

3.10. Makna Yang Terkandung Dalam Simbol-Simbol Upacara

Seseorang atau suatu kelompok masyarakat umumnya, dalam kehidupannya selalu melakukan apa yang dinamakan upacara. Upacara adalah suatu kegiatan yang maksudnya untuk memperingati suatu peristiwa. Dalam upacara pelaksanaannya selalu terlihat adanya penggunaan simbol-simbol untuk mengungkapkan rasa budayanya (Herusatoto, 1985 : 1). Menurut Purwadarminta bahwa simbol adalah sesuatu seperti tanda lukisan, perkataan, lencana dan lain sebagainya yang mengatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu (Herusatoto, 1985: 11). Di samping itu simbol-simbol berperan dalam upacara karena sebagai alat penghubung antara sesama manusia dan antara manusia dengan benda, juga sebagai alat penghubung antara dunia yang nyata dengan dunia yang gaib ( Suparlan, 1981 : 13 dalam Rudjati, dkk, 1991).
Setiap kegiatan yang dilakukan tersebut pada umumnya mengandung makna yang tersirat. Demikian juga halnya upacara tabuik yang biasa ddakukan oleh masyarakat Pariaman. Dalam rangkaian upacara tabuik terkandung makna-makna yang berpusat pada nasehat, doa dan permohonan keselamatan. Makna simbolik yang terkandung dalam setiap rangkaian upacara dan dilambangkan dalam peralatan upacara masing-masing dapat kemukakan sebagai berikut :

a. Barantam, berarti mengadakan musyawarah, mengemukan ide/gagasan dihadapan orang banyak. Bermusyawarah mengandung arti simbolik bahwa dalam kehidupan bermasyarakat untuk menyelenggarakan sesuatu terlebih dahulu mestilah dimusyawarahkan antar sesama warga masyarakat. Bagi masyarakat Pariaman musyawarah merupakan senjata yang ampuh untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan. Dalam musyawarah itu semua peserta diberi kesempatan untuk mengemukakan ide/gagasan yang ada dalam pikirannya. Ide/gagasan yang muncul ditampung dan dibahas bersama untuk menemukan jalan terbaik demi suksesnya kegiatan yang akan dilakukan. Musyawarah merupakan langkah awal, berhasil tidaknya suatu kegiatan tergantung dari hasil musyawarah. Dalam penyelenggaraan upacara tabuik sangat diperlukan kerjasama masyarakat karena kegiatan tersebut termasuk pekerjaan yang berat baik dari segi biaya maupun tenaga. Pekerjaan yang berat itu bisa jadi ringan jika dikerjakan bersama bak kata pepatah “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Ungkapan nii sudah membudaya dalam masyarakat Pariaman sehingga dalam keadaan krisis pun mereka masih sanggup menyelenggarakan upacara tabuik. Makna lain yang terkandung dari Barantam adalah mensosialisasikan budaya musyawarah pada generasi selanjutnya serta terbinanya kekompakan dalam masyarakat.
b. Bahan-bahan seperti kayu, bambu, manau dan rotan digunakan sebagai pembuat kerangka tabuik, sedangkan kertas warna-warni dan kain dijadikan sebagai penutup kerangka tabuik serta hiasan sehingga terbentuk sebuah tabuik yang sangat menarik. Tabuik dianggap sebagai keranda tempat bersemayamnya jasad Imam Housein, sedangkan burak adalah sebagai kendaraan untuk membawa arwah Imam Housein menghadap yang Maha Kuasa menandakan bahwa bila seseorang itu telah meninggal dunia maka jenazahnya disemayamkan dalam sebuah tempat (keranda) dibawa ke pusara untuk dikuburkan. Selanjutnya arwahnya akan menghadap Sang Pencipta.
c. Pada upacara pengambilan tanah dan peralatan yang digunakan atau diperlukan menunjukan simbol bahwa dalam kehidupan manusia itu terdapat bermacam-macam kebutuhan dan hubungan satu sama lainnya yang mesti dipenuhi. Adapun simbol-simbol yang terdapat pada peralatan upacara antara lain :

§ Tanah yang diletakan di Daraga sebagai pusara melambangkan asal-usul manusia seperti yang dijelaskan dalam Alqur’an Surah Al Mu’minum ayat 12 yang artinya “sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah”
§ Belanga melambangkan bahwa manusia hidup di dunia ini mempunyai bermacam-macam kebutuhan dan aktivitas. Belanga dikenal sebagai alat tempat memasak, baik tempat memasak nasi, maupun tempat membuat gulai dan sejenisnya. Dengan digunakannya belanga sabagai alat untuk memenuhi kebutuhan akan makanan, maka manusia itu mestilah berusaha untuk memperolehnya baik dengan cara membeli ataupun membuat sendiri. Belanga terbuat dari bahan tanah liat yang telah mengalami proses pengeringan (dibakar dengan api).
§ Kain putih melambangkan manusia tidak dapat hidup tanpa benda-benda seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal semuanya itu diperoleh dengan kerja keras. Sedangkan warna putih melambangkan kesucian hati manusia itu dalam melaksanakan suatu perbuatan.
§ Kemenyan melambangkan penghormatan manusia terhadap leluhurnya. Kemenyan merupakan sarana penghubung dunia fana dengan dunia gaib. Asap kemenyan yang menggepul membawa amanat dari orang yang masih hidup kepada leluhurnya yang sudah wafat.
d. Upacara pengambilan batang pisang dan peralatan yang digunakan menunjukkan simbol bahwa manusia itu mempunyai kekuasaan atas dirinya dan juga atas diri orang lain. Kadangkala manusia itu bersifat angkuh dengan apa yang telah diperolehnya dan tak jarang menggunakan akal licik dalam mencapai sesuatu. Batang pisang melambangkan jasad Imam Housein yang mati terbunuh. Batang pisang bila digores/dipotong akan mengeluarkan lendir putih (sejenis getah). Lendir itu sejenis cairan yang meninggalkan bekas pada benda yang dikenainya (misalnya terkena pada pakaian) dan sulit dihilangkan. Hal tersebut melambangkan bahwa dalam kehidupan ini ada hal-hal yang menyenangkan dan ada hal-hal yang menyedihkan. Demikianlsh bila dalam upacara tabuik yang mengingatkan permusuhan yang terjadi antara Imam Housein dengan Yazid bin Muawiyah. Sebenarnya permusuhan itu tak perlu terjadi jika manusia itu bisa saling menerima kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh setiap orang. Ini semua demi terbinanya kerukunan hidup yang aman dan sejahtera. Pisang adalah buah yang banyak dinikmati oleh siapa saja tanpa membedakan usia, jenis kelamin dan status sosial dalam masyarakat. Hal ini menggambarkan bahwa tidak adanya pembedaan terhadap sesama manusia seperti usia, jenis kelamin, status sosial dan lain-lain. Sedangkan tebu melambangkan - perjalanan hidup manusia. Hidup di dunia ini silih berganti ada senang dan ada susah, ada manis dan ada pahit. Hal ini menggambarkan bahwa setiap orang yang terlibat dalam rangkaian upacara tabuik mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Perbedaan itu janganlah menimbulkan prasangka yang buruk agar tidak terjadi perselisihan sesama anggota atau masyarakat. Pedang yang digunakan untuk kegiatan tersebut melambangkan senjata. Setiap manusia itu mempunyai senjata, senjata tidak saja berupa benda melainkan juga berupa akal, pikiran, prilaku dan sebagainya. Senjata itu hendaklah dikendalikan dengan baik karena bila salah mengendalikan akan berakibat fatal.
e. Maarak panja/jari-jari dan peralatan yang digunakan atau diperlukan menunjukkan simbol bahwa manusia itu hendaklah memiliki rasa malu. Malu pada diri sendiri, malu pada orang lain dan juga malu pada Sang Pencipta. Demikian juga dalam upacara tabuik, bahwa masyarakat Pariaman akan merasa malu jika mereka tidak mampu menyelenggarakan upacara tabuik tiap tahunnya, apalagi masyarakatnya (terutama perantau) termasuk orang berhasil dalam berbagai sektor usaha. Adapun simbol yang terdapat pada peralatan upacara tersebut adalah :
§ Panja adalah sejenis alat yang digunakan sebagai tempat membawa jari-jari dan perlengkapan lainnya dalam hal ini sama dengan baki yang terdapat dalam panja. Orang yang membawa panja dengan kedua belah tangannya akan sangat hati-hati karena takut benda yang ada didalamnya akan jatuh. Hal ini melambangkan bahwa kehidupan ini mestilah dijalani dengan tekun, hati-hati dan sabar. Setiap langkah haruslah dipikirkan dan dipertimbangkan masak-masak lebih dahulu. Seberat apapun beban/masalah yang datang hendaklah dihadapi dengan tenang dan kepala dingin, ambil yang baiknya dan buang yang buruknya.
§ Jari-jairi (maksudnya di sini adalah jari-jari tangan manusia) jari- jari tangan melambangkan suatu perbuatan, dimana setiap makhluk hidup kecuali tumbuh-tumbuhan mempunyai jari-jari tangan. Jari-jari mempunyai fungsi yang berbeda. Bagi manusia jari-jari itu sebagai penentu dalam suatu tindakan. Melalui jari-jari bisa dilakukan bermacam-macam aktivitas. yang baik maupun yang buruk. Oleh sebab itu jari-jari tangan hendaklah dipergunakan untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi orang banyak.
§ Beras kuning melambangkan kemakmuran dan kemuliaan, dimana pengikut lmam Housein kelak nanti akan mendapat kemuliaan dan hidup dengan makmur serta memperoleh rezeki dengan cara yang halal.
§ Bunga melambangkan keharuman nama seseorang. Bunga biasanya digunakan untuk peristiwa-peristiwa bersejarah yang sangat berharga bagi pendukungnya/masyarakat tertentu. Bunga dan beras kuning digunakan untuk penabur para pengunjung, itu melambangkan bahwa manusia itu jangan tamak tetapi harus suka menolong dan memberi sedekah kepada siapa saja yang membutuhkan.
§ Dua buah lampu damar. Lampu dalam kenyataan sehari-hari sebagai alat penerangan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Bagi manusia alat penerangan tidak saja berupa benda tetapi juga berupa pengajaran, nasehat yang dapat menentukannya ke jalan yang benar. Dalam pelaksanaan upacara tabuik, dun buah lampu damar melambangkan dua kelompok yang berlawanan. Tuhan menciptakan segala sesuatu saling berpasangan seperti siang dan malam, kawan dan musuh, laki-laki dan perempuan,tinggi dan rendah, kaya dan miskin, dan sebagainya.
f. Maarak sorban melambangkan kebesaran dan penghormatan kepada seorang pemimpin. Sorban biasanya dipakai oleh seorang Kiay atau Syeh. Ilmu keagamaan yang dimiliki oleh kiay atau syeh kepandaianya harus dajarkan kepada pengikutnya agar menjadi orang yang taat beragama. Sorban diletakkan di atas kepala. Ini menggambarakan kedudukannya yang tertinggi. Orang yang memakai sorban mempunyai kedudukkan yang lebih tinggi di bidang keagamaan yaitu agama Islam.
g. Tabuik naik pangkat melambangkan persatuan. Manusia itu terdiri dari bermacam-macam suku, bahasa, agama dan keturunan, tetapi semuanya bisa dihimpun dalam satu kesatuan masyarakat yang kemudian patuh/terikat pada aturan-aturan yang berlaku di daerahyang bersangkutan.
h. Ma-oyak tabuik merupakan suatu perbuatan yang menimbulkan ketika orang yang ikut ma-oyak tabuik tidak peduli apa yang akan terjadi saat ma-oyak tabuik. Untuk menghindari terjadinya sesuatu disaat ma-oyak tabuik maka para pekerja tabuik dalam prosespembuata tabuik sangat teliti dan cermat.Ini melambangkan bahwa saat perbuatan itu hendaklah dilakukan dengan ikhlas, jangan hanya mengharapakan imbalan atau pamrih. Tetapi ingatlah bahwa Allah selalu memberi berkah terhadap orang yang ikhlas dalam semua pekerjaan.
i. Membuang tabuik, ini sama artinya memberi sesajen. Tabuik dengan sebagai sesajen buat penghuni pantai Barat Sumatera. Membuanng tabuik merupakan persembahan kepada makhluk di dunia gaib agar mereka memberi perlindungan terhadap manusia yang berada di sekitar pantai Barat Sumatera.






















BAB IV
ARTI DAN FUNGSI UPACARA TABUK

4.1. Arti dan Nilai Budaya Upacara Tabuik


Upacara tradisional merupakan salah satu wujud kebudayaan dan berkaitan dengan berbagai nilai sehingga mempunyai arti yang sangat panting kehidupan masyarakat pendukungnya. Arti penting tersebut tampak dalam kenyataan bahwa melalui upacara tradisional dapat diperkenalkan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta mengungkap makna simbolik yang terkandung di dalamnya untuk memahami eksistensi upacara tradisional sebagai suatu keseluruhan.
Upacara tabuik sebagai salah satu upacara tradisional masyarakat Pariaman bukan saja penting bagi masyarakat setempat melainkan juga penting bagi masyarakat lainnya. Dalam pelaksanaan upacara tersebut sarat dengan pesan-pesan dan nilai-nilai budaya yang patut dijadikan pedoman oleh manusia, Karena biar bagaimanapun semua aktivitas manusia itu tidak terlepas budayanya masing-masing.
Menurut Tylor, yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan yang komplek yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Wallace. 1966 : 6). Sedangkan Koentjaraningrat (1980 : 193 dalam Dra. Rayati, dkk, 1994/1995 : 64) merumuskan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.
Dari definisi tersebut jelaslah bahwa kebudayaan itu mempunyai wujud. Menurut Koentjaraningrat (1990 : 5) wujud kebudayaan ini paling sedikit ada tiga : Pertama, kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; kedua, kebudayaan sebagai komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan ketiga, kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Dengan demikian sistem nilai-nilai kebudayaan merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal ini disebabkan oleh karena nilai-nilai kebudayaan itu merupakan konsep mengenal apa yang hidup dalam alam pikiran manusia, mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga penting dalam hidup, sehingga dapat difungsikan sebagai suatu pedoman hidup bagi masyarakat. Demikian halnya dengan upacara tabuik mengandung nilai-nilai yang sangat berharga bagi masyarakat yang dapat diteladani. Adapun nilai-nilai budaya yang sangat penting tersebut pada upacara tabuik di Pariaman adalah :

a. Nilai Kearifan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Sedangkan kata kearifan yang berasal dari kata arif berarti bijaksana atau kecerdikan. Dari definisi tersebut tampak bahwa dalam pelaksanaan upacara tabuik terdapat hal-hal yang sangat berharga bagi manusia. Sesuatu yang berharga itu oleh manusia dipelihara, dilindungi secara bijaksana agar tidak punah karena adanya pengaruh dari luar.
Pada pelaksanaan upacara tabuik, nilai kearifan dapat dipetik dari anjuran untuk membaca doa atau mantra setiap memulai suatu pekerjaan. Dengan membaca doa atau mantra tersebut akan menjauhkan manusia dari sifat sombong yang membanggakan kemampuan dan keakuannya. Isi doa atau mantra tersebut diharapkan dapat menyadarkan manusia bahwa dalam kehidupan ini senantiasa tergantung pada pihak lain. Manusia tidak bisa hidup dan sukses tanpa bantuan pihak lain. Dengan rendah hati selalu berdoa semoga apa yang diinginkan tercapai dengan baik. Kemudian setelah keinginan tercapai hendaklah tetap ingat bahwa keberhasilan itu bukan basil jerih payah sendiri. Justru itu keberhasilan yang telah diperoleh jangan dinikmati sendiri dengan kesombongan, tetapi hendaklah didermakan juga kepada orang lain.

b. Nifai Sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat, suka mamperhatikan kepentingan umum (saka menolong, menderma dan sebagainya). Jadi yang dimaksud dengan nilai sosial adalah nilai-nilai yang didapatkan dalam kehidupan yang berkenaan dengan konsep dan hakekat tata aturan hidup bermasyarakat. Nilai itu tidak terlepas dari hakekat manusia yaitu baik sebagai individu maupun makhluk sosial. Perwujudan nilai sosial menurut M. Junus Melalatoa (1996 : 8 dalam Soirnun, 1997) dapat dilihat dalam bentuk tertib, setia, rukun, harmoni, disiplin, tenggang rasa, tanggung jawab, kompetitif, harga diri, dan tolong menolong (gotong royong, musyawarah, kebersamaan dan sebagainya).

Dalam pelaksanaan upacara tabuik nilai sosial dapat dipetik dari partisipasi masyarakat setempat. Partisipasi masyarakat mencakup dalam berbagai hal, antara lain dalam pemberian dana buat keperluan upacara. Penyenglenggaraan upacara tabuik memerlukan biaya yang cukup banyak, namun berkat sumbangan dari para masyarakat semuanya bisa diatasi dan berjalan lancar. Dalam hal pengumpulan dana tampak antusias masyarakat yang cukup besar dengan berlomba-lomba memberikan sumbangan demi suksesnya upacara tabuik. Selain itu partisipasi dalam penyelenggaraan upacara dan pekerjaan pembuatan tabuik juga cukup besar. Personil yang telah ditunjuk untuk pembuatan tabuik akan bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Ketepatan waktu sangat mereka jaga karena ini menyangkut nama baik harga diri. Bila pekerjaan tersebut tidak selesai, maka mereka akan merasa malu pada orang banyak dan dengan sendirinya kepercayaan orang terhadapnya sudah berkurang. Untuk itu di antara sesama pekerja harus terjalin kekompakan dan saling mempercayai sehingga pekerjaan mereka akan berhasil dengan baik.

c. Nilai Seni

Nilai seni adalah nilai budaya yang didapatkan khusus dalam bidang seni, yang berkenaan dengan hakekat seni dan berkesenian (Sedyawati, 1992 dalam Soimun dkk, 1991:126) Sebagai suatu sistem nilai budaya, nilai seni dapat dipahami malalui berbagai sub unsur antara lain konsep estetika (keindahan), sikap kreativitas karya seni, harmoni, hiburan dan sebagainya.

Dalam pengertian umum nilai seni tidak lain adalah unsur nilai budaya yang diukur dengan rasa senang yang ditimbulkan dan bentuk-bentuk yang menyenangkan yang tercipta melalui bahasa, suara, bunyi, bangunan dan gerak. Dan seluruh hasil cipta tersebut melahirkan bentuk seni seperti seni sastra, seni suara, seni musik, seni bangunan dan seni tari. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam upacara tabuik terdapat barmacam-macam seni seperti :

- Seni Musik, seni musik tradisional Minangkabau pada masa silam terbentuk dari perpaduan antara bunyi-bunyian dengan peralatan. yang cukup sederhana. Alat musik yang digunakan adalah gendang yang terbuat dari kulit hewan (kerbau, sapi, kambing dan sebagainya) yang telah mengalami proses. Sebelum gendang dipakai terlebih dahulu disangai (diasapi) dengan api agar bunyinya bagus. Masing-masing gendang mempunyai spesifikasi dan keindahan tersendiri. Namun dalam rangkaian upacara tabuik, gendang tersebut dibunyikan secara serentak sehingga menimbulkan suasana riang di sekitarnya. Alat musik pengiring upacara tabuik adalah alat musik pukul yang terdiri dari tasa dan gendang.
- Seni kerajinan. Pada tabuik terdapat ditemukan motif-motif hiasan yang berbeda pada masing-masing bagian. Antara dasar tabuik dan badan tabuik mempunyai motif yang berbeda dengan bagian puncak tabuik dan bagaian lainnya. Hiasan-hiasan yang terpasang pada tabuik membuktikan bahwa sejak zaman dahulu masyarakat pendukung upacara tabuik sudah mengenal seni kerajinan. Dalam hal ini seni kerajian tersebut terdiri atas kerajinan melukis, dan merancang/desains.

4.2. Fungsi Upacara Tabuik

Tabuik merupakan salah satu wujud kebudayaan yang berkaitan dengan berbagai nilai kehidupan bagi masyarakat pendukungnya. Arti dari nilai yang terkandung di dalamnya amat panting dan bermanfaat sekali serta dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat pendukungnya. Misalnya dangan adanya upacara tabuik akan memperkuat nilai persatuan dan kesatuan (baca : gotong royong). Di masa sekarang ini, nilai gotong royong sudah berkurang, bahkan tidak jarang antara yang satu dengan yang lain (baca : tetangga) sudah tidak saling kenal mengenal. Di samping itu, dalam upacara ini akan terungkap makna simbolik yang terkandung di dalamnya untuk memahami eksisten keberadaan upacara tradisional sebagai satu kesatuan yang (keseluruhan).
Upacara tabuik sebagai salah satu upacara tradisional masyarakat Pariaman tetap eksis dilakukan. Walaupun ada sedikit perubahan modifikasi sebagai penyesuaian terhadap perkembangan zaman, mengurangi makna upacara serta minat masyarakat setempat, luas baik Sumatera Barat maupun dari luar Sumatera Barat. Hal ini membuktikan bahwa upacara tradisional ini mengandung nilai-nilai luhur yang mungkin juga menjadi panutan masyarakat lain (baca : ada persamaan) sehingga masyarakat Sumatera Barat umumnya berbondong-bondong untuk datang menyaksikan peristiwa ini. Selain itu, juga mempunyai ciri yang khas, unik dan didukung penuh oleh tokoh masyarakat serta pemerintah.





Fungsi upacara tabuik pada masyarakat Pariaman ada dua, yaitu sebagai berikut :

a. Fungsi Sosial :

Masyarakat Pariaman merupakan satu-satunya pendukung upacara tradisional tabuik di Sumatera Barat. Fungsi upacara tabuik dapat dilihat pada kehidupan sosial masyarakat pandukungnya, yaitu : fungsi herizontal dan fungsi vertikal. Fungsi horisontal adalah menjaga keseimbangan hubungan sosial antara manusia dengan manusia dalam masyarakat pendukung itu sendiri. Sedangakan fungsi vertikal adalah mewujudkan keseimbangan antara manusia dangan Sang Pencipta atau ke supranatural lainnya.
Upacara tradisional tabuik merupakan upacara yang sangat penting dan berperan sekali dalam kehidupan masyarakat Pariaman. Untuk tabuik tidak hanya sekedar upacara sakral tetapi juga merupakan pembentuk hubungan sosial masyarakat yang sampai saat ini terbina baik dalam kehidupan masyarakat setempat. Pelaksanaan upacara tabuik mencerminkan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta nilai paling tinggi yaitu nilai keagamaan yang dianut masyarakatnya. Disamping ltu, masyarakat Pariaman mempunyai hubungan dan kaitan dengan sejarah masuknya agama Islam di Pantai Barat Sumatera, karena Pariaman dikenal sebagai daerah pertama pengembangan agama Islam di Sumatera Barat yang disebarkan oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan. Perlu dijelaskan juga bahwa tabuik berasal dari kebudayaan India yang dibawa oleh pasukan Islam Tamil. Pada dasarnya tabuik dilakukan untuk memperingati kematian Hasan dan Housein cucu Nabi Muhammad SAW pada waktu perang Karbela di Medinah (akan dijelaskan pada fungsi spiritual).
Masyarakat Pariaman mayoritas beragama Islam, oleh karena itu kehidupan sehari-harinya menunjukan kehidupan yang Islami. Namun demikian, mereka masih menghormati kepercayaan-kepercayaan yang bersumber dari warisan leluhur. Upacara tradisional selain memperluas hubungan persahabatan, persatuan dan kesatuan (baca : kekeluargaan) dengan warga di luar daerah setempat, juga mempererat hubungan antara warga masyarakat itu sendiri. Adanya kebiasaan gotong royang, saling bantu-membantu, bahu-membahu di antara warga masyarakat baik tenaga, materi berupa dana dan prasarana lain dalam menyukseskan upacara. Hal ini menunjukkan adanya keterikatan dan kebersamaan. Sifat kekeluargaan terasa kental sekali padahal kita menyadari bahwa masyarakat sekarang ini sifat kebersamaan ini sudah mulai luntur dan patut menjadi perhatian kita.
Hubungan baik antara sesama warga dalam melaksanakan upacara tradisional tabuik, terlihat pada proses peilaksanaan upacara, baik mulai dari awal hingga akhir berjalan dengan lancar. Sebelum masuk masa pelaksanaan pembuatan tabuik, yang pertama sekali diadakan adalah musyawarah di kantor Kerapatan Adat Nagari (KAN) Pasar dan Limo Koto Air Panpam. Di sini berkumpul semua lapisan masyarakat dalam nagari baik dari golongan Alim ulama, Cerdik pandai, dan pemuda guna membahas hal-hal yang dirasa parlu dalam penyelenggaraan upacara tabuik.
Selain masyarakat yang berada di kampung halaman, para perantaupun turut mendukung sepenuhnya pelaksanaan upacara. Karena acara tersebut merupakan sarana pulangnya orang rantau. Bulan Muharram sebagai bulan perayaan tabuik sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Pariaman yang berada di perantauan sebagai suatu peristiwa untuk pulang kampung. Begitu ramainya orang pulang kampung sampai lahirnya istilah “Pariaman Tadanga Langang, Jiko Batabuik Makonyo Rami” lstilah ini benar-benar dibuktikan dengan semaraknya perayaan tabuik dan adanya dukungan penuh dari masyarakat perantau yang sengaja pulang ke Pariaman untuk menyaksikan perayaan tabuik serta melihat kemajuan kampung halaman sebagai perwujudan sosialisasi sebagai masyarakat Pariaman yang hidup di perantauan.
Adanya kebiasaan-kebiasaan seperti itu merupakan norma yang mengharuskan setiap warga masyarakat memelihara hubungan yang baik di antara sesama dalam mewujudkan kehidupan yang rukun dan tertib. Dengan kata lain integrasi kehidupan bermasyarakat tetap terpelihara. Melalui hubungan ini, komunikasi di antara sesama warga juga akan tetap terpelihara. Upacara tabuik merupakan salah satu aspek dari adat-istiadat yang terikat dengan sistem kepercayaan masyarakat setempat. Hal ini dapat terlihat pada proses upacara yang dijelaskan pada BAB III.S
Sedangkan unsun-unsur lain yang mempunyai kaitan yang erat sekali dengan upacara tabuik adalah adanya pantangan-pantangan maupun simbol-simbol yang menjadi larangan dan dianggap sebagai perwujudan atau serupa dengan peristiwa tersebut. Adapun pantangan-pantangan yang dimaksud adalah, pertama sekali tenlihat pada bahan-bahan pembuatan tabuik yang harus didarahi agar para pekerja terhindar dari musibah. Hal ini menandakan suatu “keharusan” karena jika tidak dilaksanakan maka kemungkinan besar para pembuat tabuik akan terkena marabahaya. Kemustahilan ini sudah menjadi tradisi dari kepercayaan yang tidak bisa dihilangkan. Demikian juga dengan adanya simbol-simbol sebagai suatu keterikatan jiwa dengan “orang suci” yang menyebabkan tenjadinya upacara. Dengan kata lain orang yang dihormati dan disucikan atau pahlawan yang dijadikan panutan. contoh, tauladan atas sikap dan tingkah laku dalam menegakkan kebanaran.
Di samping itu, upacara tabuik juga dijadikan sebagai sarana atau media komunikasi atau hubungan baik antarsesama. Contohnya dengan adanya upacara tabuik, orang jadi mengenal daerah Pariaman. Selanjutnya terjalinlah hubungan baik di antara masyarakat penyelenggara upacara dengan pemerintah setempat atau dengan masyarakat se Sumatera Barat hingga luar Sumatera Barat bahkan mancanegara. Masyarakat luar, berusaha memahami dan menghormati adat-istiadat setempat dengan mematuhi dan melaksanakan aturan-aturan tersabut. Dengan demikian aturan-aturan yang terdapat didalamnya dipatuhi oleh orang luar setidak-tidaknya pada saat berada di daerah setempat.

b. Fungsi Spiritual

Masyarakat pada umumnya mempunyai konsep bahwa setiap individu terbagi dalam beberapa tingkatan hidup yang akan dilalui dan dialaminya sepanjang hidup. Pada tiap tingkatan itu, individu yang bersangkutan dianggap berada dalam kondisi dari lingkungan tertentu. Setiap peralihan tingkatan merupakan suatu proses perubahan dari suatu lingkungn sosial ke lingkungan sosial lain. Masyarakat Pariaman dalam kehidupan sehari-hari selalu dihadapkan pada bermacam-macam persoalan, terutama masalah perekonomian. Di mana umumnya mereka hidup dari hasil pertanian, perdagangan dan nelayan. Keadaan ini sering mengalami pasang surut sesuai dengan kemajuan zaman dan pola berfikir masyarakat yang berbeda setiap kurun waktunya. Bagi masyarakat setempat persoalan itu kadang kala sulit untuk diatasi. Justru itulah mereka selalu membutuhkan bantuan pihak lain, baik berupa bantuan material maupun non material.
Bantuan non material sangat dominan untuk melindungi negeri dan isinya dari musibah, disamping berusaha meningkatkan kesejehteraan rakyat. Untuk mewujudkan semua itu tidak jarang mereka melakukan hubungan khusus dengan makhluk lain dengan cara memberi sesajen yang dilakukan melalui upacara.
Pengikut aliran Syi’ah sebagai pihak pertama kali melaksanakan upacara tabuik di Pariaman, merasa tidak enak jika tiap tahunnya tidak memperingati perang karbela tempat sahidnya Imam Huosein. Perasaan tersebut menimbulkan rasa takut akan datangnya bahaya. Untuk menghindari bahaya yang akan muncul, maka pengikut aliran Syi’ah melakukan upacara yang bertujuan untuk memohon perlindungan dan kekuatan dari para leluhur. Dari sini terlihat bahwa masih terbinanya hubungan antara pengikut aliran Syi’ah dengan para leluhur mereka.
Kemudian bagi masyarakat Pariaman upacara tabuik selain untuk memperingati peristiwa perang karbela juga untuk memberikan sesajen untuk makhluk halus penghuni Laut Barat Sumatera. Dalam upacara itu terkandung nilai luhur yang dipercayai secara turun-temurun. Adapun tujuannya adalah untuk meminta keselamatan, ridho dan berkah serta merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas anugrah-Nya. Dalam rangkaian upacara tabuik senantiasa dibacakan doa, baik sebelum maupun sesudah melaksanakan masing-masing kegiatan. Disamping itu, upacara tabuik merupakan peristiwa ritual yang mempunyai kaitan erat dengan masa perkembangan agama Islam dan berdasarkan suatu pristiwa penting yaitu perang antara Housein Bin Abi Thalib dengan Yazid Bin Muawiyah pada masa perang Karbela. Disamping itu peristiwa ini dimuliakan oleh golongan Syi’ah yang mengkultuskan keturunan “khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Upacara tabuik bersifat ritual keagamaan dibawa oleh aliran Syi’ah ke daerah Pariaman. Ini merupakan hiburan dan pengkisahan salah satu peristiwa bersejarah dalam Islam kepada masyarakat Pariaman yang menganut Islam Suni seperti sebagian besar masyarakat Islam Indonesia. Upacara tabuik di Pariaman sangat digemari oleh masyarakat pendukungnya sejak dahulu dengan memperhatikan syarat keritualannya, mulai dari pengambilan tanah sampai pada pembuangan tabuik ke pantai.
Kesepuluh hari proses upacara tabuik terdapat makna-makna ritual yang masih dipertahankan sampai saat ini seperti membaca doa atau mantra setiap memulai dan mengakhiri tiap-tiap rangkaian kegiatan. Selain itu ketika Ma-oyak tabuik juga terlihat oleh masyarakat bahwa tabuik mempunyai kekuatan yang ampuh hingga pada pembuangan tabuik sebagai rangkaian akhir upacara dan merupakan sembahan secara keseluruhan terhadap penjaga laut yang dianggap pelindung bagi masyarakat selain Tuhan.
Pelaksanaan upacar ini merupakan wujud persucian dan penghormatan terakhir terhadap jasad Imam Housein dalam perjuangannya membela kebenaran. Selain itu juga bentuk hubungan dengan sang Khalik/Pencipta serta kekuatan lain yang disebut supranatural. Dalam hal ini manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan diharuskan untuk selalu menjaga hubungan baik dengan pencipta, alam lingkunganmaupun mahluk lain (ghaib ).
Dengan demikian, upacara tabuik adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan bertujuan untuk memelihara atau mempertahankan keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan. Hal ini terlihat pada perlengkapan upacara itu sendiri dan berasal dari alam atau yang memiliki unsur-unsur alam.
Hidup dalam suatu masyarakat tidak mungkin terlepas dari lingkungan alam. Agaknya manusia selain terikat dengan juga merasa ada ikatan dengan lingkungan alam di tinggal ( Koentjaraningrat 1997 : 155 dalam A. Suhendi 1993/1994 : 114 ). Sikap ini mencerminkan adanya hubungan erat antara manusia dengan lingkungannya dan berusaha menjaga keseimbangan dan keharmonisan hubungan dengan upacara. Selain itu hubungan dengan kekuatan ghaib yang supranatural juga tetap terjaga dengan cara penyerahan sesajen tabuik yang dibuang ke laut sebagai persembahan kepada. Mereka melakukan upacara untuk memenuhi dan struktur sosial masyarakatnya. Upacara merupakan hubungan antara manusia dengan kekuatan di luar dirinya memberikan sesuatu bagi kebahagiaannya.
Demikian rangkaian upacara tersebut memiliki fungsi spiritual, dikembangkan hubungan antara manusia dengan lingkungan dengan manusia lain, manusia dengan Tuhan serta manusia dengan kekuatan supranatural.

4.3. Tabuik sebagai Penunjang Industri Pariwisata

Teknologi terutama bidang transportasi dan komunikasi pariaman menjadi terkenal apalagi dengan obyek wisatanya menarik seperti pantai Gandoriah, pesta budaya tabuik dan ini banyak dilirik oleh para wisatawan, baik wisatawan lokal wisatawan mancanegara. Daerah Pariaman kaya akan obyek yang layak untuk dijadikan sebagai pusat pengembangan industri.
Lingkunganya sangat memadai seperti ketersediaan sarana dan perkembangan saat ini letak kota Pariaman sangat strategis dilihat dari arah manapun. Untuk berkunjung ke Pariaman tidak sulit, hampir setiap waktu kendaraan umum meluncur ke sana. Hari minggu atau hari-hari tertentu tersedia angkutan kereta api yang dinamakan “kereta api wisatawan” dari Padang ke Pariaman Sarana yang banyak digemari oleh masyarakat sehingga banyak orang mengisi waktu liburnya pergi jalan-jalan ke Pariaman dengan menggunakan angkutan kereta api.
Sehubungan dengan hal tersebut, di Pariaman terdapat beberapa obyek wisata. Seperti Keindahan alam, lautnya yang begitu indah, ombak yang berkejar-kejaran dan bukit yang mengelilingi laut membuat orang terpesona melihatnya serta menimbulkan keinginan untuk terus ke sana. Keadaa tersebut membuat pantai Gandoriah menjadi obyek wisata yang banyak dikunjungi orang. Sejalan dengan program pemerintah dalam rangka menambah pendapatan negara, maka pengembangan pariwisata perlu ditingkatkan dan menarik bagi wisatawan asing maupun domestik. Dalam hal ini pariwisata yang dikembangkan oleh pemerintah adalah :

1. Pariwisata kebudayaan yakni wisata berbagai macam kesenian, upacara etnik/adat, seperti di Pariaman adanya kesenian indang, rabana, saluang, salawat dulang dan upacara tabuik. Upacara tabuik tidak dimiliki oleh daerah lain di Sumatera Barat.
2. Pariwisata agama yakni wisata mengunjungi tempat-tempat keramat untuk beribadah, bertakziah, menghayati secara religius seperti di Panama orang sering berkenjung ke makam Syech Burhanuddin di Ulakan.
3. Pariwisata keindahan alam yakni di pegunungan, pantai, lembah, dan dan air terjun.

Berkaitan dengan hal tersebut pariwisata yang sedang digalakkan adalah pariwisata kebudayaan seperti upacara tradisional. Di daerah Pariaman ada upacara tradisional yang waktu pelaksanaannya banyak dikunjungi orang bahkan ada yang datang dari luar daerah. Upacara tradisional itu adalah upacara tabuik yang dilakukan di pantai Gandoriah. Upacara tabuik merupakan kegiatan sakral yang bersifat religius yang saat ini bisa dijadikan sebagai suguhan pariwisata.




Menurut Koentjaraningrat sistem religi itu terdiri dari 4 komponen yaitu :

1. Emosi yang menyebabkan manusia bersikap religius
2. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan manusia tentang sifat-sifat supranatural, tentang wujud dari alam gaib, nilai dan norma dari religi.
3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan dewa-dewa supranatural atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.
4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut.

Dalam pandangan kepariwisataan sistem ritus dan upacara serta kesatuan sosial dari suatu religi sangat potensial bagi pengembangan pariiwisata. Hal ini disebabkan oleh sistem tersebut banyak mengandung unsur-unsur yang unik, indah dan pesona yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Salah satu upacara tradisional yang memliki unsur tersebut adalah upacara tabuik.
Melihat perkembangan dan minat orang yang menyaksikan upacara tabuik maka pemerintah melalui Dinas Pariwisata mengangkat upacara tabuik sebagai obyek wisata andalan kota Pariaman di samping obyek wisata yang lainnya. Sebenarnya masyarakat Pariaman tidak menginginkan hilangnya sisa-sisa religi (kebudayaan agama) yang selama ini mereka miliki. Namun demi kepentingan bersama dan tetap lestarinya upacara tabuik, maka mereka menerima dengan baik gagasan tersebut asalkan tidak mengurangi kesakralan dan makna dari upacara tersebut. Selama tidak ada iktikad buruk menjadikan upacara tabuik sebagai tontonan, maka nilai yang terkandung didalamnya tidak akan tercemar.
Jika upacara tabuik dijadikan sebagai pariwisata budaya akan menimbulkan kecemasan bagi masyarakat pendukungnya. Dampak negatif yang ditimbulkan adalah lunturnya atau bergesernya nilai-nilai yang terkandung didalamnya, karena pada akhirnya pelaksanaan upacara tersebut akan disesuaikan dengan selera pengunjung dalam arti pelaksanaannya akan dipoles dengan unsur-unsur lain. Sedangkan dampak positifnya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, di mana masyarakat biasanya hidup dar hasil pertanian dan nelayan kini bisa dikembangkan usaha baru seperti sektor perdagangan dan jasa.
Bagi wisatawan asing upacara tabuik sangat menarik sekali dan mereka selalu ingin tahu tentang simbol dan makna dibalik benda-benda yang dipakai upacara. Keunikan tabuik dan rangkaian kegiatan upacara membuat para wisatawan asing selalu ingin datang menyaksikan berlangsungnya upacara tersebut. Dengan adanya upacara tabuik dan keunikannya membuat pantai Gondoriah terkenal sebagai obyek wisata yang perlu untuk dikunjungi karena disana akan menemukan bermacam-macam pengetahuan tentang prilaku manusia dan alam serta hubungannya dengan kehidupan yang sudah modern.
Mereka akan merasa heran dan kaget melihat upacara semacam itu apalagi melihat tabuik yang tinggi mencakar langit begitu bagus dan megah dibuang ke laut lepas, kemudian diperebutkan oleh para pengunjung upacara. Bagi mereka hal semacam ini merupakan suatu keanehan dan perbuatan yang mubazir tetapi bagi masyarakat Pariaman ini merupakan tradisi dalam rangka mengingat suatu peristiwa serta meminta keselamatan, keamanan dan kesejahteraan negerinya.
Ditinjau dari satu sisi kelihatannya upacara tabuik memang suatu perbuatan yang mubazir. Pembuatan tabuik memerlukan biaya yang begitu banyak, hanya dipergunakan sehari saja dan setelah itu tabuik dibuang begitu saja ke laut lepas. Tetapi di balik itu masyarakat juga memperoIeh keuntungan yang tidak terhingga. Selama 10 hari berlangsungnya upacara tabuik cukup banyak dana yang masuk ke Pariaman semuanya kebagian rezeki mulai dari penjaja kue, tukang bendi (dokar) sampai pada penjual jasa.
Selain itu kegiatan tersebut juga memegang peranan dalam usaha menarik wisatawan. Kedatangan wisatawan membawa keuntungan bagi masyarakat setempat, mereka bisa menyediakan bermacam-macam makanan, minuman yang dibuat sendiri. Di lokasi obyek wisata ini, berbagai usaha bisa dilakukan untuk mendapatkan uang, seperti yang diamati di lapangan yaitu, adanya warung-warung kecil yang menjual makanan, minuman, hiburan, dan tempat mainan anak-anak. Usaha ini telah menambah lapangan kerja baru bagi penduduk setempat dalam usaha meningkatkan taraf hidupnya.
BABV
PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Setelah melakukan pengamatan langsung di lapangan dan pengkajian terhadap upacara tabuik di Pariaman, maka diperoleh gambaran bahwa dalam upacara tabuik terkandung nilai-nilai budaya yang sangat berharga bagi masyarakat banyak. Selain itu juga mempunyai fungsi yang sangat penting bagi manusia dalam menjalin kehidupan di dunia dan akhirat serta hidup bermasyarakat dalam suatu kelompok tertentu. Secara terperinci mulai budaya dan fungsi yang terkandung dalam upacara tabuik telah diuraikan pada bab sebelumnya, namun untuk lebih memudahkan pemahaman uraian tersebut dapat disimpulkan berikut ini .
Upacara tabuik di Pariaman sampai saat ini masih dilaksanakan seperti apa adanya yaitu pada tanggal 1-10 Muharram tiap tahunnya. Pengkisahan peristiwa perang karbela tetap ditampilkan sebagaimana biasanya. Rangkaian demi rangkaian kegiatan terlaksana dengan teratur tanpa ada pengaruh dan unsur lain. Pelaksanaan upacara tetap rnempertahankan nilai-nilai luhur yang ada dengan penghayatan dan emosi yang mendalam serta terpelihara dengan baik. Pengaruh pembangunan, modernisasi serta masuknya unsur-unsur budaya luar tampaknya belum menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran baik dalam bentuk, maupun fungsinya.
Nilai budaya yang terkandung dalam upacara tabuik dari dahulu sampai sekarang masih berlaku dalam masyarakat, sekalipun masyarakat sudah mengalami perubahan akibat kemajuan teknologi. Nilai-nilai luhur tersebut masih menjadi pedoman bagi mereka dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Adapun nilai-nilai yang terpenting dalam rangkaian upacara tabuik seperti berikut ini.
Pertama nilai kearifan, di sini terlihat bahwa masyarakat pendukungnya masih mempertahankan nilai itu. Di mana setiap memulai dan mengakhiri suatu pekerjaan tetap diikuti dengan pembacaan doa atau mantra. Ini menandakan bahwa nilai-nilai tersebut telah meresap dalam diri manusia dan diamalkannya sepanjang hayatnya sesuai dengan agama yang dianutnya. Nilai kearifan tersebut menuntun manusia untuk selalu berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mengingatnya. Apapun yang diperoleh di muka bumi ini adalah pemberian-Nya. Oleh karena itu hendaklah selalu mengucapkan syukur agar kenikmatan dan kesenangan yang telah diberikan-Nya tetap langgeng. Wujud dan rasa syukur itu tidak hanya dengan membaca doa saja tetapi juga dalam perbuatan yaitu mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala taranganNya.
Kedua nilai sosial, yaitu suatu aturan, norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membutuhkan orang lain, sekecil apapun pekerjaan yang akan dilakukan tetap melibatkan pihak lain. Dalam hal ini upacara tabuik masyarakat Partaman telah menunjukan tatanan kehidupan yang saling tolong menolong bahu membahu (kebersamaan), saling mempercayai antarwarga. Nilai sosial itu tertanam baik di lubuk hati masyarakat. Ini tergambar dari keikut-sertaan seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pesta besar tersebut. Pesta besar tersebut tentu memerlukan dana, tenaga dan waktu yang begitu banyak. Namun semua itu ditopang bersama-sama demi terpeliharanya budaya mereka.
Ketiga nilai seni, berkaitan dengan kreatifitas masyarakat pendukungnya. Nilai seni yang tercermin didalam upacara tabuik adalah seni musik dan seni lukis. Seni musik yang ditampilkan adalah musik-musik tradisional yang dimainkan oleh para pemuda yang ahli dalam memainkan alat-alat musik tradisional seperti gendang. Alat musik tradisional yang digunakan tersebut tidak mengurangi meriahnya acara tersebut malahan semakin semarak karena para pemainnya memvariasikan irama musik dengan pengunjung yang hadir serta acara yang sedang di iringinya.
Selain seni musik juga seni lukis, dimana para pembuat tabuik mampu menampilkan bermacam-macam motif hiasan pada tabuik. Pembuatan motif itu memerlukan daya imajinasi yang tinggi, perenungan yang mendalam untuk menemukan ide-ide yang bagus untuk ditampilkan. Penuangan ide-ide pada kertas warna-warni menandakan betapa tingginya kreatifitas mereka.
Selain berfungsi sebagai nilai budaya, upacara tabuik juga mempunyai fungsi sosial dan fungsi spiritual yang sangat penting bagi masyarakatnya. Fungsi Sosial upacara tabuik adalah sebagai norma-norma sosial, sarana komunikasi, sarana pengendali sosial dan interaksi, untuk mewujudkan keseimbangan hubungan antara sesama anggota masyarakat. Sedangkan Fungsi Spritual yaitu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT untuk memohon ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan hidup lahir dan bathin.
Fungsi-fungsi ini tidak mengalami kemunduran tetapi semakin berkembang. Perkembangan tersebut terlihat dengan dijadikannya upacara tabuik sebagai salah satu objek wisata budaya. Sebagai salah satu objek wisata budaya, upacara tabuik banyak diminati oleh para wisatawan asing maupun domestik. Melihat keunikan dari upacara tabuik tersebut sangat menarik untuk ditampilkan ke tingkat yang lebih bergengsi seperti tingkat nasional. Dalam hal ini upacara tabuik bisa dijual untuk industri pariwisata.

5.2. Saran

Berdasarkan kenyataan tentang keberadaan upcara tradisional, khususnya upacara tabuik di Pariaman dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Nampaknya keberadaan upacara tabuik sangat diperlukan oleh masyarakat dalam mempertahankan integritas kehidupan dalanm, masyarakat sekaligus dapat meningkatkan kemampuan berusaha, memperluas wawasan masyarakat dalam menghadapi perkembangan zaman. Oleh sebab itu keberadaan upacara tabuik perlu dipertahankan.
2. Upacara tabuik memliki nilai budaya luhur yang sangat berharga yang dinyata melalui simbol-simbol upacara. Oleh sebab itu upacara tersebut perlu dilestarikan dibina dan dikembangkan.
3. Upacara tabuik bisa dikembangkan untuk menunjang industri pariwisata daerah setempat sekaligus dapat menambah pendapatan masyarakat khususnya dan daerah Sumatera Barat umumnya.